. wisecorner: Juli 2011

Lelaki itu....

05 Juli 2011
Lelaki itu...
Lahir dan besar ditengah keluarga yang sederhana
Tumbuh dan menjadi sosok laki-laki yang mandiri dan amanah ditengah keluarga yang penuh dengan cinta dan kasih sayang

Lelaki itu...
Untuk bisa menjadi dirinya yang sekarang
Butuh perjuangan
Butuh pengorbanan
Butuh kesabaran
Butuh airmata


Lelaki itu...
Lelaki yang sederhana bahkan sangat sederhana
Aku melihatnya seperti itu di awal perkenalan
Tak ada yang istimewa darinya dari segi penampilan
Biasa saja..bahkan terlalu biasa
Tapi darinya aku belajar banyak hal
kesabaran
kerendahan hati
kesederhanaan
kelapangan hati
bahwa ilmu agama itu luas dan tak pantas menyalahkan seseorang karena mengambil dalil yang berbeda dengan kita
bahwa makna cinta itu sulit terurai dalam untaian kata layaknya kosa kata bahasa Arab yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
tapi cinta itu bukti nyata bukan sekedar kata
itu aku pahami darinya


Lelaki itu...
Suamiku kini hingga kelak di surgaNya (aamiin)
Lelaki itu...
Bagai seorang kakak, sahabat, murabbi bagiku
Lelaki itu...
Aku bahagia, sangat bahagia
Aku bersyukur, sangat bersyukur
Tak pernah sedikitpun terbersit dalam angan mendambakan pedamping hidup sepertinya
Seorang hafidz
Cukup tahu diri saja diri ini
Terlalu tinggi rasanya
Namun takdirNya berkata lain
Namaku dan namanya telah tertulis rapi di Lauh Mahfudz


Akad nikah dan walimatul urs :
Dewi Sartika bintu Zainudiin Gani, S. Ked
dan
Muhammad Basran bin Muhammad Yusuf
Ahad, 09 Agustus 2009


Lelaki itu...
Adanya menjadi penyemangat dalam menuntut ilmu, beramal, berdakwah dan bersabar
Adanya menjadi partner dalam mengarungi jalan panjang penuh liku berhias onak dan duri
Hadirnya menjadi pelipur lara
Hadirnya adalah jawaban pintaku padaNya
Balasan atas ujianNya padaku
Anugerah terindah dari sekian banyak anugerah yang telah dihadiahkanNya kepadaku


Bersamanya...
Lelaki itu...
menjadikan dakwah sebagai nafas
yang akan terhenti jika nafas kamipun tak berhembus lagi
Bersamanya...
meniti jalan cinta para pejuang dakwah





*----------------------------------------------------------------------------------------------*
Madinah, Sya'ban 1432H
090809-090811
Hampir dua tahun kini (insyaAllah)
Semoga senantiasa dikumpulkan dalam ketaatan kepadaNya (aamiin)
Read more ...

Untukmu, Wahai Para Muharrikah Dakwah Kesehatan


Entah sejak kapan ghirah dakwah di ranah ini mulai berkorbar
Entah siapa yang mengawali jejak langkah di jalan ini
Entah dimana ianya berawal yang pastinya kini kitalah para penerusnya, akhwat!


Kitalah pemegang tongkat estafet yang akan berlanjut demi sebuah regenerasi dakwah kesehatan tempat dimana kita berpijak saat ini
Kitalah para pelanjut yang diharapkan dapat mewarnai sekitar kita dengan warna Islam yang haq


Tak inginkah kita turut mengukir kerja sebagai bagian dari perjuangan menegakkan syari'at Islam di ranah ini, ranah kesehatan?
Tak inginkah kita melihat mereka yang sakit menjadi sehat tidak hanya jasmani saja akan tetapi ruhiyahnya pun turut?
Tak inginkah kita menjadi muharrikah dakwah yang juga profesional dalam bidang kita?
menjadi dokter muslimah, apoteker muslimah, analis kesehatan muslimah, sarjana kesehatan muslimah, bidan muslimah, perawat muslimah...yah semuanya yang terkait dengan disiplin ilmu kita hari ini


Bukan hal yang niscaya bagi kita untuk turut dalam kafilah dakwah
Bukan sesuatu yang mustahil jika kita ingin menjadi bagian dari sejarah kejayaan Islam kelak meski raga telah tiada


Qum!
Bangunlah, wahai muharrikah dakwah kesehatan!
Bergeraklah!
Mari satukan langkah!
Jangan hanya bergelut, tersibukkan dengan dunia kita sendiri!
Makmurkanlah majelis-majelis ilmu syar'i!
Ejawantahkan dalam keseharian kita pelan tetapi pasti menuju kesempurnaan!
Tebarkan pesona dakwah sebagai bagian amar ma'ruf nahi mungkar!
Kemudian bersabarlah dalam setiap gerak perubahan


Setidaknya kita tidak tinggal diam
Sedikitnya kita telah menorehkan cerita dalam lembaran dakwah kesehatan
Meski tak seberapa
Meski tak jarang harus jatuh bangun mempertahankan hidayah yang begitu mahal harganya
mendekap erat setiap komitmen syar'i yang telah diyakini kebenarannya
Meski tak sedikit dari kita harus bersabar atas cibiran orang-orang terhadap hijab-hijab kita yang tak gaul lah, yang jadul lah, yang menggerahkan pandangan mereka
jangan luluh, jangan lemah, jangan gentar karena mereka
sebab mereka bukan siapa-siapa
Allah lebih berhak untuk kita takuti daripada mereka
Meski harus tertatih saat raga terasa lemah sedang amanah senantiasa menanti untuk dijamah


Tak perlu ciut nyali berjuang
Jadikan semua itu sebagai pelengkap yang adanya kian mendewasakan kita
menjadikan kita muslimah yang tak hanya profesional namun juga tangguh menghadapi ragam tribulasi kehidupan
bukankah Rasulullah dan generasi-generasi terbaik pun pernah mengecapnya?
yang dengannya Allah menjanjikan surga atas mereka
tak inginkah segala daya jua upaya kita hari ini pun berujung pada surgaNya kelak?


Tetaplah berazam demi kemuliaan Islam
Tetaplah bergerak
Tetaplah berkarya
Tetaplah berjuang
Hingga mata tak lagi menatap semburat warna jingga saat senja berpamitan pada malam
Hingga nafas tak lagi berhembus; jantung tak lagi berdetak
Hingga ruh tak lagi bersemayam dalam jasad kaku
Hingga terlelap dalam tidur panjang bersama ridhoNya




(Madinah, Rajab-Sya'ban 1432H)

Read more ...

Mengucapkan “Alhamdulillah” Setelah Sendawa dan Berta’awwudz Setelah Menguap

02 Juli 2011

Pertanyaan:

Syaikh yang terhormat, jika seseorang bersendawa atau menguap, apakah ada dzikir tertentu?


Jawaban:

Orang awam, bila bersendawa ada yang mengucapkan Alhamdulillah, padahal tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa sendawa menuntut ucapan hamdalah. Begitu pula bila menguap, ada yang mengucapkan, a’udzu billahi minasy syaithanir rajim.

Semua ini tidak ada dalilnya, tidak pernah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam melakukan itu. Bila ada yang mengatakan, “Bukankah sendawa itu suatu nikmat, sementara nikmat itu menjadi hak Allah untuk dipuji?” Kami katakan, memang benar itu nikmat, tapi tidak ada contoh seperti itu dari Nabi Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam bahwa beliau mengucapkan hamdalah ketika sendawa. Jika hal itu tidak dicontohkan berarti tidak disyariatkan.

Demikian berdasarkan kaidah yang dikenal oleh para ulama, yaitu bahwa segala sesuatu yang ditemukan penyebabnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam namun beliau tidak melakukannya, maka itu bukan sunnah, karena perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam adalah sunnah. Sementara meninggalkannya (hal yang tidak dilakukan Rasulullah padahal sebabnya ada saat itu) adalah sunnah.

Sendawa itu ada pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam, namun beliau tidak mengucap hamdalah. Jadi meninggalkan hamdalah saat sendawa adalah sunnah, begitu pula meninggalkan ta’awwudz ketika menguap.

Mungkin ada yang mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam telah mengatakan bahwa menguap itu dari setan, sementara Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman,

Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah.” (Fushilat: 36)

Kami katakan, bahwa yang dimaksud dengan ayat (Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan) adalah bila engkau hendak berbuat maksiat atau hendak meninggalkan suatu kewajiban, maka mohonlah perlindungan kepada Allah, karena ajakan berbuat keji itu berasal dari setan, sebagaimana firman-Nya:

Setan menjanjikan (menakut-nakuti) dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir).” (Al-Baqarah: 268)

Jika terjadi gangguan ini maka mohonlah perlindungan kepada Allah.

Adapun tentang menguap, Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam telah bersabda:

Menguap itu berasal dari setan. Maka jika salah seorang dari kalian menguap, hendaklah menahannya semampunya. Bila tidak mampu, maka hendaklah menutupkan tangannya ke mulutnya.

Dalam lafazh lain disebutkan:

… maka hendaklah menutupkan tangannya ke mulutnya.” [1]

Beliau tidak mengatakan, ‘bila salah seorang kalian menguap maka hendaklah memohon perlindungan kepada Allah, walaupun beliau mengatakan, “Menguap itu berasal dari setan.” Hal ini menunjukkan bahwa memohon perlindungan kepada Allah dari gangguan setan yang terkutuk (mengucapkan ta’awwudz) ketika menguap bukanlah sunnah.

(Liqa’ al-Bab al-Maftuh, 22/23, Syaikh Ibnu Utsaimin)

[1]. HR. al-Bukhari (3289) dan Muslim (2994, 2995)

[Sumber: Ensiklopedia Bid’ah Hammud bin Abdullah al-Mathar, hal. 365-366, terbitan Darul Haq]


Disadur dari : Taman Sunnah

Read more ...

Bolehkah Memotong Kuku atau Rambut ketika Haid?


Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum ustad….

Apakah boleh memotong kuku atau rambut pada saat haid? Apakah hadist atau ayat yg menyangkut masalah ini?
makasih wassalam..

Abdillah XXXXXd ( illahXXXXXXX@XXXXX.co.id )

Jawaban:

Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullah

Tidak terdapat riwayat yang melarang wanita haid untuk memotong kuku maupun rambut. Demikian pula, tidak terdapat riwayat yang memerintahkan agar rambut wanita haid yang rontok utnku di cuci bersamaan dengan mandi paska haid. Bahkan sebaliknya, terdapat riwayat yang membolehkan wanita haid untuk menyisir rambutnya. Padahal, tidak mungkin ketika wanita yang menyisir rambutnya, tidak ada bagian rambut yang rontok. Disebutkan dalam shahih Bukhari, bahwa ketika Aisyah mengikuti haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesampainya di Mekkah beliau haid. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

…..دعي عمرتك وانقضي رأسك وامتشطي

“Tinggalkan umrahmu, lepas ikatan rambutmu dan ber-sisir-lah…”

Hadis ini menunjukkan bahwa rambut rontok atau potong kuku ketika haid hukumnya sama dengan kondisi suci. Artinya, tidak ada kewajiban untuk memandikannya bersamaan dengan mansi haid. Jika hal ini disyariatkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan jelaskan kepada Aisyah agar membawa rambutnya dan memandikannya bersamaan dengan mandi haidnya.

Dalam Fatawa Al-Kubra, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terdapat pertanyaan, “Ketika seorang sedang junub, kemudian memotong kukunya, atau kumisnya, atau menyisir rambutnya. Apakah dia salam dalam hal ini? Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa orang yang memotong rambutnya atau kukunya ketika junub maka semua bagian tubuhnya ini akan kembali pada hari kiamat dan menuntut pemiliknya untuk memandikannya, apakah ini benar?”

Syaikhul Islam memberi jawaban “Terdapat hadis shahih dari Hudzifah dan Abu Hurairah radliallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang orang yang junub, kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.’ Dalam shahih Al-Hakim, ada tambahan, ‘Baik ketika hidup maupun ketika mati.’ Sementara itu, saya belum pernah mendengar adanya dalil syariat yang memakruhkan potong kuku dan rambut, ketika junub. Bahkan sebaliknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang yang masuk islam untuk memotong rambutnya dan berkhitan. Beliau juga memerintahkan orang yang masuk islam untuk mandi. Dan beliau tidak memerintahkan agar potong rambut dan khitannya dilakukan setelah mandi. Tidak adanya perintah, menunjukkan bolehnya potong kuku dan berkhitan sebelum mandi…’” (Fatawa Al-Kubra, 1:275)

Allahu a’lam.



Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Read more ...

SMS gratis!

Klik di sini!
free counters