. wisecorner: Oktober 2010

HARU BIRU JALAN DAKWAH (untaian nasehat untukmu, saudariku)

19 Oktober 2010
Bismillah….
Ba’da tahmid wa shalawat
Tulisan ini hadir dari kesedihan, kemirisan, kepiluan hati melihat secara nyata realita hidup, yang mungkin dahulu hanya lewat pendengaran kisah itu mampir, tapi saat ini (sebenarnya sudah sejak lama) mata ini benar-benar melihat ‘penyakit’ itu menjangkiti mereka, saudari-saudariku. Inikah seleksi alam? Tahukah dirimu, saudariku..hati ini menangis bagai disayat sembilu melihat dirimu kini bagai orang asing, mencari-cari masih adakah bekas ilmu yang dahulu pernah kita kejar bersama. Hingga tak terasa tetes demi tetes air mata menyadarkan diri ini bahwa kini engkau telah banyak berubah, saudariku sampai-sampai hampir tak kukenali lagi.
Tulisan ini pun hadir dari ketidakberdayaan merubah takdir seorang manusia, sebab diri ini hanya manusia biasa, sebab diri ini hanya perantara, sebab hanya merekalah yang dapat merubah nasib mereka sendiri, tentunya atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. 13. 11)
Tulisan ini pun hadir bukan karena diri ini merasa paling ‘alim, paling sempurna, paling benar, paling suci. Sungguh, terlalu naïf rasanya, sebab diri ini pun hanya manusia biasa yang sama seperti kalian saudariku..memiliki segumpal daging yang dengan mudahnya berbolak-balik juga hanya manusia biasa yang tak makshum seperti Baginda Rasulullah Shalallahu’alahi wa Sallam. Tetapi, tulisan ini hadir sebab kecintaan diri ini pada kalian, saudariku.
Pun sekiranya dari setiap rangkaian kata dalam tulisan ini ada yang menyinggung hati kalian, maka bersyukurlah saudariku, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala masih menginginkan kalian untuk ‘kembali’. Oleh karena itu, tolong disikapi dengan positif, bijak, tanpa amarah. Sebaliknya jika tak ada reaksi sedikitpun dari hati kalian, justru itu yang perlu dikhawatirkan, sebab boleh jadi kesempatan itu sudah tak ada lagi. Na’udzubillahimindzalik tsumma na’udzubillahiminzalik.
Banyak hal yang mewarnai hari-hari kita semenjak Allah Subhanahu wa Ta’ala mempercayakan hidayahNya pada diri kita. Mulai dari yang manis, asam, asin bahkan pahitpun pernah kita rasakan. Tapi, itulah jalan dakwah, saudariku..sudah menjadi aksioma di kalangan pejuang dakwah bahwa jalan itu jalan yang berliku, jalan panjang yang tak berujung, jalan yang penuh dengan onak dan duri. Yang tak jarang pada saat kita berjalan bersama saudari-saudari kita, secara bergantian akan terjatuh, menangis, tersungkur, bersedih, kecewa, tertatih, berpeluh-peluh, merasa dikhianati, terseok-seok, merasa tak dihargai, terjerembab, terpaku, tersakiti, marah, letih, dan banyak hal tak mengenakkan lainnya, lantas secara spontan kita bertanya (mungkin lebih banyak hanya dalam hati) ‘sampai kapan harus begini?’ pertanyaan retoris, tak memerlukan jawaban, sebab kita bukannya tidak tahu kalau hal-hal seperti itulah yang akan kita rasakan ketika kita berazam untuk turut dalam sebuah kafilah dakwah. Benarkan, saudariku? Tetapi, jangan pernah berkecil hati, sebab gambaran jalan dakwah tidak hanya yang seram-seram seperti yang sudah disebutkan. Ternyata ada sisi lain dari jalan tersebut yang mungkin tidak semua dari kita bisa langsung merasakannya atau seiring dengan berjalannya waktu kita akan merasakannya. Dan ‘rasa’ itu sejalan dengan kondisi keimanan kita. Manakala keimanan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari Akhir baik, maka ‘rasa’ itu semakin indah dalam hati kita, sebaliknya jika kondisi keimanan kita sedang down, maka sekonyong-konyong kita ingin segera menjauh dari jalan ini. Seperti itukah yang engkau rasakan, saudariku? Mengutip syair sebuah nasyid yang berjudul ‘Sekeping Hati’ :
Sekeping hati dibawa berlari
Jauh melalui jalan nan sepi
Jalan kebenaran indah terbentang
Di depan matamu para pejuang
Tapi jalan kebenaran tak akan selamanya semu
Ada ujian yang datang melanda
Ada perangkap menunggu mangsa
Akan kuatkah kaki yang melangkah
Bila disapa duri yang menanti
Akan kaburkah mata yang menatap
Pada debu yang pasti kan hinggap
Berharap senang dalam berjuang
Bagai merindu rembulan di tengah siang
Jalannya tak seindah sentuhan mata
Pangkalnya jauh ujungnya belum tiba
Di awal hijrah..semuanya terasa indah dalam pandangan dalam khayalan lantas terpatri menjadi sebuah himmah ‘aliyah, sehingga tak sedikit kerja-kerja dakwah, musyawarah, mabit sana-sini terselesaikan dengan mudahnya tak terasa sebagai beban juga tak sedikit ‘taman-taman syurga’ yang kita singgahi untuk mencash ruhiyah, mengembangkan diri, melepas lelah serta membina ukhuwah islamiyah di dalamnya. Hingga wujud juga sikap kita pun berubah, bagai seekor kepompong lusuh yang bermetamorfosis menjadi seekor kupu-kupu yang cantik di mata Allah juga di mata saudari-saudarimu. Tapi, tak sedikit orang yang tak menyukai perubahan kita, saudariku. Ada yang mencemooh, mengatakan kita berlebihan, kuno, jadul, Islam garis keras, fanatik bahkan bukan hanya kata, sebagian dari mereka (dan yang menyedihkan mereka adalah orang tua kita) tidak segan-segan memerintah kita berbuat maksiat kepada Allah, memboikot, mengancam untuk tidak lagi membiayai kuliah kita semata-mata agar kita meninggalkan jalan dakwah. Tetapi itu tak menciutkan nyali kita, tak menyurutkan langkah kaki kita, tak membuat kita gentar, bahkan membuat kita semakin kukuh berazam meski akhirnya menjadi golongan minoritas dalam keluarga sendiri. Hingga lambat laun atas izin Allah, keluarga kita mendukung keterlibatan kita dalam dunia dakwah. Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, Tuhan Semesta Alam. Seperti itukah yang engkau rasakan, saudariku?
Kebersamaan dengan akhwaatfillah menjadi penghibur hati, penambah semangat. Sejenak melupakan masalah bahkan lewat kebersamaan itu kita mendapatkan solusi mengatasi masalah yang sedang kita hadapi. Namun, sudah sunnatullah dalam kehidupan berjamaah sudah pasti akan terjadi gesekan-gesekan mulai dari yang halus bisa diatasi sampai yang kasar membuat kita mengurut dada lantas bertanya (masih lebih sering dalam hati) ‘seperti itukah seorang akhwat?’, menitikkan air mata, menjauh selangkah demi selangkah hingga pada akhirnya tak pernah tampak dalam jamaah. Seperti itukah, saudariku? Pernahkah kita berpikir bahwa saudari kita juga manusia biasa layaknya kita, tak luput dari salah, meski ia lebih tua dari kita, lebih dulu hijrah daripada kita, lebih tinggi amanahnya dibanding kita, tapi dia tetaplah seorang manusia yang butuh untuk di nasehati jika di mata kita dia lalai, jika dia melakukan kemungkaran, jika dia berlebihan dalam tutur maupun sikap. Tentunya ketika kita menjadi orang yang menegur ataupun yang ditegur harus menyadari bahwa tidaklah sesuatu itu terjadi melainkan telah diatur oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan selalu sesuai dengan kadar keimanan kita, sebab tidak mungkin Allah memberikan ujian diluar batas kemampuan kita. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya….”. Maka berlapangdadalah, “fashbir sabran jamilan” , berbaik sangka kepada saudarimu, mengembalikan makna perkataannya kepada makna yang terbaik (seperti ini kan kaidah yang diajarkan dalam tarbiyah-tarbiyah kita, saudariku?). Lantas sampaikanlah apa yang menjadi kegundahan hatimu kepada orang yang dipercaya dapat membantumu memberikan solusi atas masalah yang sedang kau hadapi, bukan berlari atau mundur teratur dari jamaah, enggan untuk bertemu dengan akhwat yang dahulu menjadi teman dalam ‘perjalanan’ hingga tanpa merasa berdosa kepada Rabb semesta alam, engkau ‘rela’ menanggalkan idealisme yang telah kita ilmui kewajibannya juga akibat yang ditimbulkan bila melanggarnya. Subhanallah…kenapa harus seperti itu, saudariku? Kenapa ‘hanya’ karena ketersinggungan lantas engkau tega merusak dirimu sendiri? Padahal segala sesuatunya masih bisa dibicarakan baik-baik, masih bisa dicarikan solusi yang terbaik, masih ada jalan untuk memperbaiki setiap kesalahan yang telah diperbuat saudarimu, saudariku. Padahal hidayah itu begitu susah payah engkau dapatkan, pertahankan..hingga (sekali lagi) ‘hanya’ karena ketersinggungan engkau begitu tega melepaskan semuanya, bagai debu diterbangkan angin. Sungguh hati dan pikiran ini sampai detik ini masih terus bertanya, “dimanakah ilmu yang selama ini (bertahun-tahun) kita tuntut, saudariku? Apakah tak ada bekasnya sama sekali? Apakah tak ada yang tersisa walau sedikit? Apakah tak ada sedikitpun yang sanggup menjadi antibodi bagi virus-virus kefuturan? Dan apakah engkau tak takut akan azab Allah atas apa yang telah engkau perbuat hari ini sedang engkau mengetahuinya, saudariku? Tak takutkah engkau atas pertanggungjawaban ilmu yang engkau miliki kelak di hadapan Allah?”. Subhanallah..tubuh ini bergidik memikirkan semua itu, saudariku. Ampuni kami Ya Rabb.
Ujian lain yang menghiasi perjalanan dakwah ini adalah virus merah jambu yang tak luput dari hati-hati kita, saudariku. Bahkan godaan syaitan lebih dahsyat dengan melabelinya dengan label ‘dakwah’ ataupun ‘Islami’. Ini bukan kasuistik, saudariku, ini sebuah fenomena. Fenomena yang sangat mengenaskan. Yang banyak menjadi sebab bergugurannya saudari-saudari kita. Saudariku, apa yang engkau ragukan? Janji Allah itu pasti datangnya. Ketika Dia mengatakan, “…dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…..”, maka yakinlah Allah telah mempersiapkan jodoh terbaik untuk menjadi pendamping kita mengarungi perjalanan panjang nan suci menuju JannahNya, menjadi teman sejati di jalan cinta para pejuang dakwah, menjadi patner dalam urusan-urusan dakwah. Tidakkah itu sesuatu yang indah, saudariku? Lantas kenapa kita masih ragu, saudariku? Kenapa kita tidak mau sedikit saja bersabar menunggu waktu yang tepat agar semuanya mejadi indah pada saatnya dengan ridhoNya? Kenapa kita nekat mengambil jalan pintas? Bahkan tidak sedikit yang mengambil kesempatan dari interaksi dengan ikhwah, padahal kita adalah orang yang paham akan bagaimana seharusnya menjaga hubungan dengan lawan jenis terutama ikhwah yang begitu sensitif dengan keberadaan kita, saudariku. Meski berjauhan, meski lewat dunia maya (jejaring sosial dan semacamnya), meski lewat media elektronik, sungguh tak ada celah, saudariku..hijab mesti tegak dimanapun interaksi itu terjadi, sebab bukan tidak mungkin syaitan memainkan perasaan kita di dalamnya. Dan ketika hal itu telah terjadi, rasa malu hilang lenyap ditelan ‘kebahagiaan’ semu. Cukuplah hadits ini menjadi nasehat buat kita semua, saudariku. Dari Abi Mas'ud al-Badri radhiallâhu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " Sesungguhnya diantara ucapan kenabian pertama (Adam) yang didapat oleh manusia adalah: 'jika engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau inginkan' ".(H.R.Bukhari). Tetapi, sadarkah engkau, saudariku bahwa Allah Rabb semesta alam cemburu melihat perbuatanmu sembunyi-sembunyi bermesraan dengan kekasih gelapmu. Laki-laki yang belum sedikitpun halal untuk kau perhatikan sedemikian dekatnya layaknya seorang istri kepada suaminya, belum sedikitpun halal untuk kau sapa dengan sebutan: sayang, cinta, abi, dan sebutan manja lainnya, belum sedikitpun halal untuk kau titipkan rasa cinta yang suci, belum sedikitpun halal untuk kau titipkan harapan-harapanmu akan masa depanmu. Belum halal, saudariku dan jangan coba-coba bermain api di wilayah ini, sungguh sangat berbahaya, saudariku. Kasihanilah dirimu, saudariku. Sedikit atau banyaknya tetap mendapat balasan yang setimpal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan kau rusak perjalanan hidupmu dengan catatan-catatan keburukan, sebab sejarah tak bisa dihapus, dia akan terus menjadi bayang-bayang dalam kehidupanmu. Jangan sampai sesal selalu terselip dalam hati, dalam lisan juga dalam pikiranmu.
Ternyata ujian keimanan itu tak datang dari tempat yang jauh, tetapi justru datang dari dalam diri kita sendiri. Ujian keimanan itupun selalu sebanding dengan kadar keimanan kita; tidak pernah melebihi, ujian itu untuk menguji seberapa besar pengaruh ilmu syar’I yang telah kita tuntut dan ujian itu belum sampai menuntut kita untuk mengorbankan harta bahkan nyawa kita.
Saudariku, semoga untaian nasehat ini bermanfaat terutama bagi diri ini juga untukmu saudariku. Mohon diampunkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk setiap kata yang tak berkenan di hati. Segala yang benar datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang salah datangnya dari diri ini yang dhaif dan syaithan la’natu’alaih. Uhibbukifillah.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”(QS. 103:1-3)
Read more ...

SMS gratis!

Klik di sini!
free counters