. wisecorner: LARANGAN ISLAM MENCELA DENGAN ‘LAQAB’ YANG BURUK ( Tafsir QS. 49 : 11 )

LARANGAN ISLAM MENCELA DENGAN ‘LAQAB’ YANG BURUK ( Tafsir QS. 49 : 11 )

Hits:

20 Januari 2011
LARANGAN ISLAM MENCELA DENGAN ‘LAQAB’ YANG BURUK

( Tafsir QS. 49 : 11 )

Allah berfirman dalam QS. 49 : 11


Laqab (julukan/panggilan) artinya nama yang mengandung pujian ataupun celaan. Adapun laqab yang mengandung pujian, maka tidaklah mengapa sebagiamana ulama’ kita memberikan contoh laqab As-Shiddiq untuk Abu Bakar, Al-Faruq untuk Umar, Dzunnurain untuk Utsman dan Abu Turab untuk Ali -Radhiyallahu ‘anhum wa anishshahabati ‘ajma’in- maka tidak mengapa yang seperti ini. Adapun laqab yang dibenci oleh seseorang, maka sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir yang merupakan sebab turunnya ayat ini bahwasanya seorang di zaman jahiliyah memiliki beberapa nama dan jika dipanggil dengan nama tertentu akan muncul perasaan benci dan tidak suka. Sebagaimana ketika kaum dari Kabilah Bani Salamah datang kepada Nabi dan beliau Shalallahu’alaihi wa Sallam tahu beberapa nama tersebut dan memanggil salah seorang diantara mereka dengan laqab yang tidak disukainya, maka dengan cepat sahabat menegur Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam dan mengingatkan bahwa nama tersebut tidak disukainya, kemudian turunlah ayat ini.

Firman Allah


Artinya janganlah kalian memberikan laqab yang buruk dengannya orang tersebut merasa terganggu meskipun hal itu benar adanya dan ulama’ hadits mengecualikan hal ini dalam penamaan perawi hadits, maka kita akan mendapatkan beberapa riwayat hadits yang menyebutkan laqab seperti Al-A’raj (orang pincang), Az-Zayyat (penjual minyak) dan laqab lainnya yang keberadaannya diingkari oleh orang Arab karena maknanya yang kurang bagus tetapi karena orang tersebut tidak akan dikenal kecuali dengan nama tersebut, maka tidak mengapa dengan tidak memaksudkan penghinaan ataupun merendahkan.


Ibnu Jarir Ath-Thobari –rahimahullah-1 menyebutkan perkataan mujahid2 pada makna ayat ini bahwasanya hal ini termasuk laqab yang berhubungan dengan keislaman seseorang (hal-hal yang tidak diridhoi oleh Islam) sebagaimana jika seorang bersalah kemudian dipanggil ‘wahai fasiq’ atau ‘wahai munafik’ atau ‘wahai fajir’. Maka ulama’ kita berpendapat itulah makna ayat ini. Bahkan sebagian yang lain mengatakan hal tersebut lebih dari yang telah disebutkan sebelumnya. Berarti panggilan yang berkenaan dengan sifat tertentu yang masuk dalam ayat ini, misalnya: si fulan muta’ashshib (ta’ashshub), si fulan muqallid (taklid), si fulan mujtahid (ijtihad), si fulan sifatnya begini, si fulan pemikirannya begini. Tidak pantas bagi penuntut ilmu mengambarkan saudaranya dengan hal yang tidak diridhoi untuk dirinya sendiri, maka apakah yang terjadi jika pendapat saudaranya benar dan bersumber dari dalil yang syar’i?? Maka keadaanlah yang membuatnya berpegang teguh dengan kebenaran atau pendapat yang rajih. Akan tetapi kesalahan besar jika seorang penuntut ilmu mendapatkan masalah khilafiyah dan madzhab yang dia pegang mengambil sisi pendapat tanpa memiliki dalil apapun atau madzhab tersebut memiliki dalil dan madzhab yang lain memiliki dalil yang lebih kuat, maka tidak dibenarkan baginya bersikukuh dengan pendapat lemah dengan alasan madzhab tersebut adalah madzhab temannya, maka sangat tidaklah pantas. Akan tetapi dia tidak dicela, karena perkara tersebut adalah perkara ijtihadi dan tidak pantas untuk menjadikan perbedaan di atas menjadi arena saling mencaci, merendahkan dan memberi gelar yang tidak layak. Dan menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk menjalin hubungan baik di antara mereka karena ilmu adalah perekat hubungan dan sepantasnya pula bagi penuntut ilmu untuk menjunjung tinggi ilmu. Jika terjadi masalah khilafiyah atau ijtihadiyah, maka bukan jalan menghina atau mencela yang lainnya. Dan hal yang sungguh menakjubkan ketika Imam Syafi’i mengunjungi kota Baghdad dan shalat subuh di dalamnya tanpa qunut, dikatakan kepada beliau, ‘kenapa engkau tidak qunut sedang madzhabmu berpendapat demikian?’ beliau menjawab, ‘untuk menghormati pemilik kubur ini (Imam Abu Hanifah)’. Sungguh sebuah adab yang luhur, sepantasnya para penuntut ilmu yang baru menapakkan kakinya untuk berqudwah dengan mereka yang hidupnya penuh dengan ilmu.

Para penuntut ilmu secara khusus hendaknya memperhatikan adab ini karena persaingan antara mereka akan memunculkan perasan yang tidak pantas dan pada akhirnya akan memunculkan laqab-laqab bagi teman ‘pesaing’ dalam menempuh jalan mulia ini.



Semoga Allah menjaga kita dari sifat ujub dan merasa paling benar sendiri. Hanya Dia jualah tempat mengadu dan memohon pertolongan.

Wallahu a’lam bishshawab.


1. 1. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, imam tafsir dan sejarah penyusun buku tafsir Ath Thobari dan buku sejarah lainnya, wafat tahun 310 H.

2. Mujahid bin Jabr, pemuka ahli tafsir di zaman tabi’in dan murid terdekat Ibnu Abbas, wafat tahun 104 H.




*Dikutip dari ceramah Syaikh Athiyah bin Muhammad Salim -Rahimahullah- wafat tahun 1420 H (http://www.islamweb.net) dengan sedikit penambahan oleh zauji.

0 comments:

Posting Komentar

SMS gratis!

Klik di sini!
free counters