. wisecorner

Seputar Bulan Rajab (Keutamaan, Amalan dan Hukumnya)

05 Juni 2011

ADA APA DENGAN BULAN RAJAB ?


Penamaan Bulan Ini
Rajab adalah salah satu dari nama bulan Islam yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Rajab dalam bahasa Arab bermakna agung dan terhormat, bulan ini disebut dengan Rajab yang berarti agung dan terhormat karena kaum Jahiliyah dulu sangat mengagungkan dan menghormati bulan ini. Imam Ibnu Rajab Al Hanbali dalam Lathoif Al Ma’arif menyebutkan dari nukilan sebagian ulama ada 14 nama untuk bulan ketujuh ini dan sebagian lagi menyebut hingga 17 nama. Al Hafizh Ibnu Hajar menukil penjelasan dari Ibnu Dihyah bahwa bentuk jamak dari kata Rajab adalah Arjaab, Rajabaanaat, Arjabah, Araajib dan Rajaabii, lalu beliau (Ibnu Dihyah) menyatakan bahwa bulan ini memiliki 18 nama kemudian beliau merinci satu demi satu nama tersebut (lihat Muqaddimah Tabyiin Al ‘Ajab)

Rajab Termasuk dari Bulan-Bulan Haram
Rajab merupakan salah satu diantara bulan yang memiliki kemuliaan selain Ramadhan karena dia termasuk diantara empat bulan yang haram. Kemuliaan dan keagungan ini telah diisyaratkan dalam Firman Allah Azza wa Jalla,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.(QS. At Taubah : 36)

Dalam sebuah hadits shohih yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Abu Bakrah Nufai’ bin Harits radhiyallohu anhu dari Nabi shallallohu alaihi wasallam, beliau menerangkan keempat bulan haram yang dimaksud dengan sabdanya:
« إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ شَهْرُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ ...»
“Sesungguhnya zaman telah beredar sebagaimana yang ditentukan di waktu Dia menciptakan langit dan bumi,dalam setahun terdapat dua belas bulan diantaranya empat bulan haram; tiga bulan diantaranya berurutan, (keempat bulan haram itu adalah) Dzulqa’dah, Dzulhijjah Muharram dan Rajab bulan Mudhar yang berada diantara Jumada (Akhiroh) dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mengapa dinamakan bulan-bulan haram ?
Para ulama berbeda pendapat mengapa keempat bulan tersebut dinamakan dengan bulan haram, ada dua pendapat yang terkenal :
Pendapat Pertama : Dinamakan bulan haram dikarenakan besarnya kehormatan dan keagungan bulan-bulan tersebut serta besarnya akibat dari dosa yang dilakukan padanya. Abdullah bin Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata, “Allah mengkhususkan empat bulan yang dijadikannya sebagai bulan-bulan haram, kehormatannya sangat agung, dosa-dosa pada bulan tersebut lebih besar (dari bulan-bulan lainnya) dan Dia menjadikan amal sholeh dan pahalanya (di bulan tersebut) juga lebih besar” (lihat: Latho’if Al Ma’arif oleh Ibnu Rajab) . Salah seorang mufassir dari kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin Diamah As Sadusi ketika menjelaskan makna firman Allah di surat At Taubah ayat 36, “...maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu...”, beliau berkata, “Amalan sholeh di bulan-bulan haram lebih besar pahalanya sebagaimana perbuatan menganiaya lebih besar dosanya di bulan-bulan haram walaupun secara umum di bulan mana saja perbuatan menganiya adalah dosa besar” (lihat Tafsir Al Baghawi)

Pendapat Kedua : Dinamakan bulan-bulan haram karena peperangan diharamkan pada bulan-bulan tersebut dan hal ini sudah dikenal sejak zaman Jahiliyah bahkan konon sejak zaman Nabi Ibrahim alaihis salam. Dalam Al Quran Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan haramnya berperang di bulan-bulan haram, (artinya) :
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh...(QS. Al Baqarah : 217).

Akan tetapi para ulama berbeda pendapat apakah larangan berperang di bulan haram hukumnya tetap berlaku atau sudah mansukh? Jumhur ulama berpendapat hukumnya telah mansukh karena para sahabat sepeninggal Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam banyak mengadakan penaklukan di berbagai negeri dan berjihad lalu tidak dinukil bahwa mereka berhenti pada saat memasuki bulan haram, hal ini menunjukkan bahwa mereka ijma’ larangan tersebut telah mansukh. Sebagian ulama salaf diantaranya ‘Atho’ memandang hukumnya tetap berlaku dan tidak mansukh, sebagian ulama lain merinci hukumnya dan mengatakan larangan tersebut berlaku jika mengawali peperangan di bulan-bulan haram adapun jika awalnya terjadi di luar bulan haram lalu berlanjut hingga bulan-bulan haram maka hal tersebut tidak mengapa atau rincian lain bahwa larangan tersebut jika jihad yang ofensif (menyerang) adapun jika jihad dalam rangka mempertahankan diri maka boleh di bulan apa saja , wallohu a’lam (lihat : Tafsir al Qurthubi, Zaadul Masir, tafsir as Sa’di dll)

Adakah Keistimewaan dan Amalan Khusus yang Dianjurkan di Bulan Rajab?
Para ulama kita menjelaskan bahwa keempat bulan haram tersebut memiliki keistimewaan dan keutamaan jika dibandingkan bulan-bulan lainnya kecuali bulan Ramadhan. Namun mereka berbeda pendapat manakah diantara empat bulan haram tersebut yang lebih afdhal; sebagian ulama Syafi’iyyah mengatakan yang paling afdhal bulan Rajab akan tetapi pendapat ini dilemahkan oleh Imam Nawawi, Tabi’in yang mulia Hasan al Bashri mengatakan bulan Muharram dan ini yang ditarjihkan oleh imam Nawawi dan pendapat ketiga mengatakan bulan Dzulhijjah, pendapat terakhir ini diriwayatkan dari Said bin Jubair dan ini yang cenderung dipilih oleh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahumullohu jami’an.

Kemudian telah kita sebutkan sebelumnya beberapa perkataan ulama yang menjelaskan keutamaan beramal sholeh di bulan-bulan haram, dengan demikian semua jenis ibadah dan amalan sholeh yang disyariatkan sepanjang tahun dianjurkan untuk diperbanyak pada bulan-bulan haram termasuk diantaranya bulan Rajab. Akan tetapi adakah amalan sholeh yang khusus dianjurkan di bulan Rajab?

Amalan Khusus yang Banyak Dikerjakan di Bulan Rajab dan Hukumnya
Jika kita melihat realita ummat kita maka kita dapati ada beberapa amalan yang dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin secara khusus di bulan ini. Sebagian dari amalan tersebut memiliki dasar yang butuh penjelasan akan hakikatnya dan sebagian lagi tidak memiliki dasar sama sekali. Berikut ini beberapa contoh amalan yang banyak dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin di bulan Rajab beserta penjelasan singkat tentang hukumnya :

1. Umroh di bulan Rajab
Dalil yang digunakan untuk menganjurkan umroh adalah atsar dari Ibnu Umar radhiyallohu anhuma
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَمَرَ أَرْبَعًا إِحْدَاهُنَّ فِي رَجَبٍ
Dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melaksanakan umrah sebanyak empat kali. Salah satunya pada bulan Rajab. (HR. Tirmidzi dan dishohihkan oleh Albani).
Atas dasar itu maka Abdullah bin Umar radhiyallohu anhuma mengutamakan umroh di bulan Rajab. Salim bin Abdullah bin Umar mengatakan, “Adalah Abdullah bin Umar menyukai berumroh di bulan Rajab -yang merupakan bulan haram- dari bulan-bulan yang ada dalam setahun” (Atsar ini shohih diriwayatkan oleh Abu Muhammad Hasan Al Khallal dalam Fadhoil Syahr Rajab, no.9)

Namun pendapat ini telah dibantah oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallohu anha; sebagaimana diceritakan oleh tabi’in mulia Mujahid bin Jabr, beliau berkata, Aku dan Urwah bin Zubair masuk ke mesjid Nabawi ternyata ada Abdullah bin Umar yang duduk menghadap kamar Aisyah...kemudia aku bertanya kepada Ibnu Umar, “Berapa kali Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berumroh? Beliau menjawab, “Empat kali, salah satunya di bulan Rajab” Mujahid berkata, “Kami tidak suka membantah perkataan beliau, lalu kami mendengar suara siwak Aisyah Ummul Mukminin dari kamar beliau maka Urwah bertanya, “Wahai Ibu,wahai ummul mukminin, apa engkau tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Abu Abdirrahman(Ibnu Umar)? Beliau bertanya, “Apa yang beliau (Ibnu Umar) katakan?” Urwah menjawab, “Beliau (Ibnu Umar) berkata sesungguhnya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah berumroh empat kali dan salah satunya di bulan Rajab” Aisyah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman, beliau shallallohu alaihi wasallam tidak pernah berumrah kecuali dia menyaksikannya dan beliau tidak pernah umroh sekalipun di bulan Rajab” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pernyataan Aisyah radhiyallohu anha ditarjihkan dan didukung oleh banyak ulama diantaranya Al Allamah Al Muhaqqiq Ibnu Qayyim Al Jauziyah di kitab beliau Zaadul Ma’ad (2/116), bahkan beliau menegaskan kekeliruan orang menyatakan hal itu,wallohu a’lam.

2. Menyembelih di bulan Rajab
Mikhnaf bin Sulaim radhiyallohu anhu berkata, kami sedang berwukuf dengan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam di padang Arafah lalu beliau mengatakan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةً وَعَتِيرَةً أَتَدْرُونَ مَا الْعَتِيرَةُ هَذِهِ الَّتِي يَقُولُ النَّاسُ الرَّجَبِيَّةُ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya atas setiap keluarga dalam setiap tahunnya berudhiyyah dan ‘atirah, tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ‘Atirah? Ini yang orang menamakannya dengan Rajabiyyah” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud serta dihasankan oleh Albani)

‘Atirah atau Rajabiyyah adalah sembelihan yang dikenal di zaman Jahiliyah dimana mereka melakukannya di sepuluh hari pertama dari bulan Rajab dalam rangka taqarrub kepada Allah. Di zaman Jahiliyyah mereka persembahkan sembelihan tersebut kepada berhala-berhala mereka, kadang didahului dengan nadzar dan kadang tanpa ada nadzar sebelumnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ‘atirah dalam syariat Islam dan yang rojih insya Allah hukumnya telah mansukh (tidak berlaku lagi) dan ini adalah pendapat mayoritas para ulama sebagaimana yang dinukil oleh imam Nawawi dari al Qadhi ‘Iyadh rahimahumalloh, karenanya imam Abu Daud setelah meriwayatkan hadits di atas beliau menegaskan bahwa hadits ini mansukh hukumnya,wallohu a’lam

Diantara dalil yang menunjukkan bahwa hal ini telah mansukh, sabda Rasulullah shallallohu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa beliau bersabda,
لَا فَرَعَ وَلَا عَتِيرَةَ قَالَ وَالْفَرَعُ أَوَّلُ نِتَاجٍ كَانَ يُنْتَجُ لَهُمْ كَانُوا يَذْبَحُونَهُ لِطَوَاغِيَتِهِمْ وَالْعَتِيرَةُ فِي رَجَبٍ
"Tidak ada Fara' dan Atirah. Fara' adalah anak pertama seekor unta yang mereka sembelih untuk sesembahan mereka, dan Atirah adalah hewan (kambing) yang mereka sembelih di bulan Rajab." (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Puasa sunnah
Tidak ada hadits shohih marfu’ yang mengkhususkan puasa sunnah di bulan Rajab, karenanya sebagian dari ulama Salaf diantaranya Ibnu Umar radhiyallohu anhuma, Hasan al Bashri dan Abu Ishaq as Sabi’i rahimahumallohu memperbanyak puasa sunnah di keseluruh bulan haram tanpa mengkhususkannya di bulan Rajab.
Beberapa sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam diantaranya Aisyah, Umar bin Khaththab, Abu Bakrah, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallohu anhum jami’an telah mengingkari orang yang berpuasa penuh di bulan Rajab atau mengkhususkan puasa di bulan Rajab.

Ibnu Sholah rahimahulloh berkata, “Tidak ada hadits shohih yang melarang atau menganjurkan secara khusus berpuasa di bulan Rajab maka hukumnya sama saja dengan bulan lainnya yaitu anjuran berpuasa secara umum”
Imam Nawawi rahimahulloh berkata, “Tidak ada larangan demikian pula anjuran secara khusus untuk berpuasa di bulan Rajab akan tetapi secara umum hukum asal puasa adalah dianjurkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata tentang hadits-hadits keutamaan berpuasa dan sholat khusus di bulan Rajab, “Seluruhnya dusta menurut kesepakatan para ulama”
Asy Syaikh Utsaimin rahimahulloh berkata, “Tidak ada keutamaan khusus yang dimiliki oleh bulan Rajab dibandingkan dengan bulan-bulan haram lainnya, tidak dikhususkan umroh, puasa, shalat, membaca al quran bahkan dia sama saja dengan bulan haram lainnya. Seluruh hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan shalat atau puasa padanya maka derajatnya lemah yang tidak boleh dibangun di atasnya hukum syar’i”

4. Sholat Raghaib
Sholat ini jumlah rakaatnya 12 dengan enam kali salam, biasanya dikerjakan setelah shalat Maghrib di Jumat pertama bulan Rajab. Bacaan dalam setiap rakaat setelah surat Al Fatihah adalah surat Al Qadar sebanyak 3 kali dan surat Al Ikhlash sebanyak 12 rakaat. Setelah shalat biasanya mereka bershalawat sebanyak 70 kali lalu mereka berdoa sesukanya. Sholat yang seperti ini tidak diragukan lagi termasuk shalat yang bid’ah karena hadits yang menyebutkannya termasuk hadits palsu sebagaimana yang diterangkan oleh imam Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu’aat.
Imam Nawawi berkata, “Para ulama berhujjah dengan larangan mengkhususkan malam Jumat untuk shalat dan puasa sebagai dalil tidak dibencinya shalat bid’ah yang dinamakan dengan shalat raghaib, semoga Allah membinasakan orang yang membuatnya, karena shalat tersebut bid’ah mungkar yang sesat dan tanda kejahilan, di dalamnya terdapat kemungkaran yang jelas. Sekelompok dari para imam telah menyusun tulisan yang berharga dalam menjelaskan keburukannya dan sesatnya orang yang mengerjakan dan melakukan bid’ahnya. Dalil-dali tentang keburukan, kebatilan dan kesesatan pelakunya sangatlah banyak tidak terhingga” (Syarah shohih Muslim)

Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, Adapun ibadah sholat maka tidak ada dalil shohih yang mengkhususkannya, hadits-hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan sholat Raghaib di awal Jumat bulan Rajab dusta dan batil serta tidak shohih. Sholat raghaib termasuk bid’ah menurut mayoritas para ulama...Bid’ah ini pertama kalinya muncul setelah tahun 400-an hijriyah oleh karena itu para ulama terdahulu tidak mengetahuinya dan tidak membicarakannya” (Lathoif al Ma’arif)
Termasuk bid’ah dalam persoalan shalat di bulan Rajab adalah sholat yang dikerjakan secara khusus di pertengahan bulan Rajab. (lihat al Muadhu’aat oleh Ibnul Jauzi)

5. Peringatan Isra’ dan Mi’raj
Tidak ada hadits-hadits yang shahih yang menentukan kapan sebenarnya terjadi malam Isra’ dan Mi’raj apakah dia di bulan Rajab atau selainnya. Dan setiap hadits yang menentukan waktu terjadinya malam tersebut adalah hadits lemah menurut para ulama hadits. Dan dilupakannya manusia akan waktu terjadinya merupakan hikmah besar yang dikehendaki oleh Allah Azza wa Jalla. Bahkan sekiranya ada dalil shahih yang menentukan kapan terjadinya Isra’ Mi’raj maka tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan ibadah-ibadah tertentu dan tidak boleh pula merayakannya karena Nabi shallallohu alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallohu anhum tidak pernah merayakannya dan tidak pula mengkhususkan malam tersebut dengan sesuatu kegiatan. Seandainya perayaan tersebut disyariatkan tentu Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah menjelaskannya kepada ummatnya, baik dengan perkataan ataupun dengan perbuatan dan seandainya hal itu pernah dilakukan tentu para sahabat akan menukilkan kepada kita karena mereka telah menukil dari Nabi mereka, segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ummat ini dan mereka tidak pernah lalai menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan Ad Dien, bahkan mereka adalah orang-orang yang bersegera kepada setiap kebaikan, maka seandainya memperingati malam tersebut disyariatkan tentu mereka orang yang paling pertama melakukannya. Hudzaifah radhiyallohu anhu berkata : Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh para sahabat Rasulullah maka jangan kamu beribadah dengannya”. Said bin Jubair rahimahulloh juga telah mengatakan : “ Apa yang tidak dikenal oleh ahli Badar bukanlah bagian dari Ad Dien

Nabi shallallohu alaihi wasallam juga orang yang paling banyak bernasehat kepada manusia dan menyampaikan seluruh risalah ini serta telah menunaikan amanah. Maka seandainya mengagungkan dan merayakan malam tersebut merupakan bagian dari Ad Dien tentu Nabi shallallohu alaihi wasallam telah menyampaikannya dan tidak akan menyembunyikannya. Karenanya ketika hal itu tidak beliau sampaikan, maka diketahuilah bahwa merayakan dan mengagungkannya bukanlah bagian dari Islam sedikitpun, dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan bagi ummat ini dien mereka serta mencukupkan nikmat-Nya atas mereka dan Dia mengingkari siapa saja yang membuat syariat yang tidak diizinkan-Nya, sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surah Al Maidah:3
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam jadi agama bagimu”

Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah disebutkan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa bulan Rajab adalah salah satu diantara bulan-bulan suci yang dihormati, seyogyanya bagi seorang muslim yang mengagungkan Rabbnya memuliakan bulan ini dengan memperbanyak amalan-amalan sholeh dan menghindarkan dirinya dari segala macam yang dilarang dalam syariat berupa maksiat dan lainnya. Tidak ada dalil shohih yang menganjurkan amalan khusus di bulan ini karena itu bagi yang ingin meraih kemuliaan bulan ini, hendaknya mencukupnya dirinya dengan amalan-amalan yang disyariatkan dan jangan melakukan hal-hal baru dalam peribadatan yang menjerumuskan dirinya dalam bid'ah yang justru akan menodai kehormatan bulan ini dan menjadikannya terjatuh dalam dosa besar, Wallohu A'lam wahuwa Waliyyut Taufiq


Read more ...

Jangan Lewatkan : Kajian Akbar!

01 Juni 2011
















Kajian Akbar

(terbuka untuk umum)

"Mengenal Sosok dan Pribadi Sang Pimpinan Armada Laut Pertama Ummat Islam : Mu'awwiyah bin Abi Sufyan -radhiyallahu 'anhuma-"

Ahad, 03 Rajab 1432H/05 Juni 2011M

Pkl 08.30 wita

Bertempat di Masjid Wihdatul Ummah, jl. Abd. dg Sirua, Makassar.

Bersama : Ust. Muh. Yusran Anshar, Lc (Mudir Ma'had Aly Al Wahdah [STIBA]
Makassar).

Laa yafutunnakum hadzal barnamaj!!!
Read more ...

Hukum Menyingkat Penulisan Shalawat Dengan ‘SAW’

07 Mei 2011
Penulisan shalawat kepada Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak
selayaknya untuk disingkat dengan ‘SAW’ atau yang semisalnya. Termasuk dalam
hukum ini juga adalah penulisan subhanahu wata’ala disingkat menjadi SWT,
radhiyallahu ‘anhu menjadi RA, ‘alaihissalam menjadi AS, dan sebagainya.

Berikut penjelasan Al-Imam Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
rahimahullah disertai dengan perkataan ulama salaf terkait dengan
permasalahan ini.


Sebagaimana shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu disyari’atkan ketika tasyahhud di dalam shalat, disyari’atkan pula di dalam khuthbah-khuthbah, do’a-do’a, istighfar, setelah adzan, ketika masuk masjid dan keluar darinya, ketika menyebut nama beliau, dan di waktu-waktu yang lain, maka shalawat ini pun juga ditekankan ketika menulis nama beliau, baik di dalam kitab, karya tulis, surat, makalah, atau yang semisalnya. Dan yang disyari’atkan adalah shalawat tersebut ditulis secara sempurna sebagai realisasi dari perintah Allah ta’ala kepada kita, dan untuk mengingatkan para pembacanya ketika melalui bacaan shalawat tersebut.

Tidak seyogyanya ketika menulis shalawat kepada Rasulullah dengan singkatan ‘SAW’[1] atau yang semisal dengan itu, yang ini banyak dilakukan oleh sebagian penulis dan pengarang, karena yang demikian itu terkandung penyelisiahan terhadap perintah Allah subhanahu wata’ala di dalam kitabnya yang mulia:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.

“Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56).

Bersamaan dengan itu tidaklah tercapai dengan sempurna maksud disyari’atkannya shalawat dan hilanglah keutamaan yang terdapat pada penulisan shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sempurna. Dan bahkan terkadang pembaca tidak perhatian dengannya atau tidak paham maksudnya (jika hanya ditulis ‘SAW’)[2]. Dan perlu diketahui bahwa menyingkat shalawat dengan singkatan yang seperti ini telah dibenci oleh sebagian ahlul ‘ilmi dan mereka telah memberikan peringatan agar menghindarinya.

Ibnush Shalah di dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits’ atau yang dikenal dengan ‘Muqaddamah Ibnish Shalah’ pada pembahasan yang ke-25 tentang ‘penulisan hadits dan bagaimana menjaga kitab dan mengikatnya’ berkata:

“Yang kesembilan: hendaknya menjaga penulisan shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyebut nama beliau dan jangan merasa bosan untuk mengulanginya (penulisan shalawat tersebut) jika terulang (penyebutan nama beliau) karena sesungguhnya hal itu merupakan faidah terbesar yang tergesa-gesa padanya para penuntut hadits dan para penulisnya (sehingga sering terlewatkan, pent). Dan barangsiapa yang
melalaikannya, maka sungguh dia telah terhalangi dari keberuntungan yang besar. Dan kami melihat orang-orang yang senantiasa menjaganya mengalami mimpi yang baik, apa yang mereka tulis dari shalawat itu merupakan do’a yang dia panjatkan dan bukan perkataan yang diriwayatkan. Oleh sebab itu tidak ada kaitannya dengan periwayatan, dan tidak boleh mencukupkan dengan apa yang ada di dalam kitab aslinya.

Demikian juga pujian kepada Allah subhanahu wata’ala ketika menyebut nama-Nya seperti ‘azza wajalla, tabaraka wata’ala, dan yang semisalnya. Sampai kemudian beliau mengatakan:

“Kemudian hendaknya ketika menyebutkan shalawat tersebut untuk menghindari dua bentuk sikap mengurangi. Yang pertama, ditulis dengan mengurangi tulisannya, berupa singkatan dengan dua huruf atau yang semisalnya. Yang kedua, ditulis dengan mengurangi maknanya, yaitu dengan tanpa menuliskan ‘wasallam’.

Diriwayatkan dari Hamzah Al-Kinani rahimahullahu ta’ala, sesungguhnya dia berkata:

“Dahulu saya menulis hadits, dan ketika menyebut Nabi, saya menulis ’shallallahu ‘alaihi’ tanpa menuliskan ‘wasallam’. Kemudian saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam mimpi, maka beliau pun bersabda kepadaku: ‘Mengapa engkau tidak menyempurnakan shalawat kepadaku?’ Maka beliau (Hamzah Al-Kinani) pun berkata: ‘Setelah itu saya tidak pernah menuliskan ’shallallahu ‘alaihi’ kecuali saya akan tulis pula ‘wasallam’. Ibnush Shalah juga berkata:

“Saya katakan: Dan termasuk yang dibenci pula adalah mencukupkan dengan
kalimat ‘alaihis salam’, wallahu a’lam.”

-Selesai maksud dari perkataan beliau rahimahullah secara ringkas-.

Al-’Allamah As-Sakhawi rahimahullahu ta’ala di dalam kitabnya ‘Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi’ berkata:

“Jauhilah -wahai para penulis- dari menyingkat shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tulisan engkau dengan dua huruf atau yang semisalnya sehingga penulisannya menjadi kurang sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Kattani dan orang-orang bodoh dari kebanyakan kalangan anak-anak orang ‘ajam dan orang-orang awam dari kalangan penuntut ilmu. Mereka hanya menuliskan “ص”, “صم”, atau “صلم” sebagai ganti shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang demikian itu di samping mengurangi pahala karena kurangnya penulisannya, juga menyelisihi sesuatu yang lebih utama.”

As-Suyuthi rahimahullah di dalam kitabnya ‘Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin Nawawi’ berkata:

“Dan termasuk yang dibenci adalah menyingkat shalawat atau salam di sini dan di setiap tempat/waktu yang disyari’atkan padanya shalawat, sebagaimana yang diterangkan dalam

Syarh Shahih Muslim dan yang lainnya berdasarkan firman
Allah ta’ala:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا."

“Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)”

Beliau juga berkata:

“Dan dibenci pula menyingkat keduanya (shalawat dan salam) dengan satu atau dua huruf sebagaimana orang yang menulis “صلعم”, akan tetapi seharusnya dia menuliskan keduanya dengan sempurna.”

-Selesai maksud perkataan beliau rahimahullah secara ringkas-.

Asy-Syaikh bin Baz kemudian mengatakan:

"Dan wasiatku untuk setiap muslim, para pembaca, dan penulis agar hendaknya mencari sesuatu yang afdhal (lebih utama) dan sesuatu yang padanya ada ganjaran dan pahala yang lebih, serta menjauhi hal-hal yang membatalkan atau menguranginya.

Kita memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar memberikan taufiq untuk kita semua kepada sesuatu yang diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah dan Maha Mulia.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه.

(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Al-Imam Ibni Baz, II/397-399)

Diterjemahkan dari: http://sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=871

[1] Dalam tulisan Arab, penyingkatan shalawat ini biasanya dengan huruf ص,
صلم, atau صلعم.
[2] Dan ini terkadang kita jumpai, seseorang yang membaca singkatan ini (SAW atau SWT dan yang lainnya), dia hanya mengeja huruf-huruf tersebut tanpa melafazhkan shallallahu ‘alaihi wasallam maupun subhanahu wata’ala. Mungkin dia sengaja melakukannya walaupun tahu maksud SAW/SWT, atau bahkan mungkin juga dia tidak tahu maksud singkatan tersebut. Wallahul Musta’an. (Abu Fauzan)

Sebagaimana yg dikutip dari : myQuran - Komunitas Muslim Indonesia

Read more ...

Cerita Di Awal Musim Panas*

05 Mei 2011
02061432H

Akhir-akhir ini saya merasakan suasana di kota Madinah telah cukup berubah. Yang semula sejuk bahkan sampai dingin sehingga saya harus memakai jaket dan kaos kaki menjadi cukup gerah meski di malam hari sekalipun.
Tepatnya (kalo tdk salah ingat) akhir bulan april/jumadil awal. Saya tidak perlu lagi menyalakan mesin pemanas air jika ingin mandi atau sekedar mencuci piring. Yah...air yg keluar dari kran sdh hangat secara alamiah. Bahkan beberapa hari ini saya harus menunggu beberapa saat dulu setelah memutar kran air, sebab air yg pertama keluar cukup panas dan itu tdk terjadi hanya di siang hari tetapi juga di malam hari, seperti tadi saat hendak memasak nasi utk makan malam.
Yah..Madinah telah memasuki awal musim panas.

Kebetulan di blog saya ini ada widget prakiraan cuacanya dan suhu yg selalu diperlihatkan berkisar antara 29-39 derajat celcius. Kata zauji ini belum apa-apa, di puncaknya musim panas suhu di kota Madinah bisa mencapai 60 derajat celcius! Subhanallah! Yg paling tinggi saja (39 derajat) saya terkadang merasa tdk nyaman apalagi nanti kalo suhunya mencapai 60 derajat? Masalahnya (entah mungkin hanya saya aja atau mungkin juga dipengaruhi oleh kondisi pregnant yg tengah saya alami) dgn suhu yg cukup panas ini saya jarang sekali bahkan mungkin masih bisa hitung dgn jari kanan saya kapan saya keringat. Dan itulah yg membuat tdk nyaman. Kepanasan tapi ga keringatan. Rasanya ada yg kurang begitu.

Musim panas telah menyambangi kota Madinah. Meski masih tersisa sedikit kesejukan musim dingin ba'da subuh, tetapi itu tdk lama, hanya sebentar dan ketika matahari mulai merayapi langit dari arah terbitnya, perlahan namun pasti udara panas mulai mengisi ruang udara kota Madinah. Siangnya cukup terik (bagi saya sangat terik, sebab seketika saya merasa haus dan pusing saat keluar rumah menuju mustasyfa ba'da ashar) dan malamnya pun tetap panas hingga harus menyalakan AC. Alhamdulillah alaa kulli hal...

Dan bulan Ramadhan selalu jatuh pada musim panas (bahkan mungkin dipuncaknya musim panas). Subhanallah...sungguh benar-benar telah berkumpul padanya ujian sekaligus keutamaan yg berlipat. Bukankah satu kebaikan akan Allah balas hingga 700 kali lipat?! Berpuasa di kota Madinah di saat cuaca begitu panasnya dibarengi dgn niat ikhlas krn Allah. Subhanallah! Semoga kami bisa mengamalkannya dan mendapatkan keutamaannya..aamiin...


*Alhamdulillah...akhirnya terposting juga (hehehe)
Read more ...

Ma'af Kawan..Saya Gak Ngucapin Selamat ULTAH-mu. Ternyata ULANG TAHUN ada Dalam INJIL MATIUS 14 : 6 dan INJIL MARKUS 6 :21


Mungkin kurangnya pengetahuan mengenai "ke-Aqidah-an", masih banyak ummat Islam yang mengikuti ritual paganisme ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan para ustadz dan ustazdahpun ikut merayakannya dan terjebak di dalamnya. Apalagi gencarnya media televisi dan media massa lainnya mempublikasikan seremonialnya yang terkadang dilakukan oleh beberapa da'i muda atau yang bergelar ustadz [setengah artis, katanya sih !]. Ditambah lagi kebiasaan ini sudah jamak dan menjadi hal yang seakan-akan wajib apabila ada anggota keluarga, rekan atau sahabat yang memperingati hari lahirnya. Dan tak kurang kelirunya sejak di Taman Kanak-kanak dan SD sudah diajarkan secara praktek langsung bahkan ada termaktub dalam buku-buku kurikulum mereka . Wallahu a'lam. Semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka.

Pada masa-masa awal Nasrani generasi pertama (Ahlul Kitab / kaum khawariyyun / pengikut nabi Isa) mereka tidak merayakan Upacara UlangTahun, karena mereka menganggap bahwa pesta ulang tahun itu adalah pesta yang mungkar dan hanya pekerjaan orang kafir Paganisme.

Pada masa Herodeslah acara ulang tahun dimeriahkan sebagaimana tertulis dalam Injil Matius 14:6;

Tetapi pada HARI ULANG TAHUN Herodes, menarilah anak Herodes yang perempuan, Herodiaz, ditengah-tengah meraka akan menyukakan hati Herodes. (Matius14 : 6)

Dalam Injil Markus 6:21

Akhirnya tiba juga kesempatan yang baik bagi Herodias, ketika Herodes pada
HARI ULANG TAHUNNYA mengadakan perjamuan untuk pembesar-pembesarnya, perwira-perwiranya dan orang-orang terkemuka di Galilea. (Markus 6:21)

Look at the Bible, Matthew 14 : 6 and Mark 6:21;
celebrating of birthday is Paganism, and Jesus (Isa, peace be upon him) doesn't to do it, but Herod.

Matthew 14:6 :
"But when Herod's birthday was kept, the daughter of Herodias danced before them, and pleased Herod".

Mark 6:21 :
And when a convenient day was come, that Herod on his birthday made a supper to his lords, and the high captains, and the chief men of Galilee.


Orang Nasrani yang pertama kali mengadakan pesta ulang tahun adalah orang Nasrani Romawi. Beberapa batang lilin dinyalakan sesuai dengan usia orang yang berulang tahun. Sebuah kue ulang tahun dibuatnya dan dalam pesta itu, kue besar dipotong dan lilinpun ditiup. (Baca buku :Parasit Aqidah. A.D. El. Marzdedeq, Penerbit Syaamil, hal. 298).

Sudah menjadi kebiasaan kita mengucapkan selamat ulang tahun kepada keluarga maupun teman, sahabat pada hari ULTAHnya. Bahkan tidak sedikit yang aktif dakwah (ustadz dan ustadzah) pun turut larut dalam tradisi jahiliyah ini.

Sedangkan kita sama-sama tahu bahwa tradisi ini tidak pernah diajarkan oleh Nabi kita yang mulia MUHAMMAD Shalallah Alaihi Wasallam, dan kita ketahui Rasulullah adalah orang yang paling mengerti cara bermasyarakat, bersosialisasi, paling tahu bagaimana cara menggembirakan para sahabat-sahabatnya. Rasulullah paling mengerti bagaimana cara mensyukuri hidup dan kenikmatannya. Rasulullah paling mengerti bagaimana cara menghibur orang yang sedang bersedih. Rasulullah adalah orang yang paling mengerti CARA BERSYUKUR dalam setiap hal yang di dalamnya ada rasa kegembiraan.Adapun tradisi ULANG TAHUN ini merupakan tradisi orang-orang Yahudi, Nasrani dan kaum paganism, maka Rasulullah memerintahkan untuk menyelisihinya. Apakah Rasulullah pernah melakukannya ? Apakah para sahabat Rasululah pernah melakukannya ? Apakah para Tabi'in dan Tabiut tabi'in pernah melakukannya ? Padahal Herodes sudah hidup pada jaman Nabi Isa. Apakah Rasulullah mengikuti tradisi ini ? Apakah 3 generasi terbaik dalam Islam melakukan ritual paganisme ini ?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela seorang pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan setengahnya saja.” (Muttafaq ‘alaih)

Rasulullah pernah bersabda: "Kamu akan mengikuti cara hidup orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka masuk kedalam lobang biawak kamu pasti akan memasukinya juga". Para sahabat bertanya,"Apakah yang engkau maksud adalah kaum Yahudi dan Nasrani wahai Rasulullah?"Rasulullah menjawab:"Siapa lagi jika bukan mereka?!".

Rasulullah bersabda: “ Man tasabbaha biqaumin fahua minhum” (Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka."( HR. Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Umar).

Allah berfirman; "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka." (QS. Al Baqarah : 120).

"
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran , pengelihatan, dan hati, semuannya itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra’:36).

"... dan kamu mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar." (QS. an-Nuur: 15)
.

Janganlah kita ikut-ikutan, karena tidak mengerti tentang sesuatu perkara. Latah ikut-ikutan memperingati Ulang Tahun, tanpa mengerti darimana asal perayaan tersebut.

Ini penjelasan Nabi tentang sebagian umatnya yang akan meninggalkan tuntunan beliau dan lebih memilih tuntunan dan cara hidup diluar Islam. Termasuk juga diantaranya adalah peringatan perayaanULTAH, meskipun ditutupi dengan label SYUKURAN, SELAMATAN atau ucapan selamat MILAD atau Met MILAD seakan-akan kelihatan lebih Islami.

Ingatlah ! Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasul. “Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang "tidak ada perintah dari kami padanya" maka amalan tersebut TERTOLAK (yaitu tidak diterima oleh Allah).” [HR. Muslim].

Rasulullah, para sahabat, tabi'in dan tabiut tabi'in adalah orang yang PALING MENGERTI AGAMA ISLAM. Mereka tidak mengucapkan dan tidak memperingati Ulang Tahun, walaupun mungkin sebagian manusia menganggapnya baik.

Pahamilah "Kaidah" yang agung ini; "Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi"

SEANDAINYA PERBUATAN ITU BAIK, MAKA RASULULLAH, PARA SAHABAT, TABI'IN DAN TABIUT TABI'IN PASTI MEREKA LEBIH DAHULU MENGMALKANNYA DARIPADA KITA. Karena mereka paling tahu tentang nilai sebuah kebaikan daripada kita yang hidup di jaman sekarang ini.

Jika kita mau merenung apa yang harus dirayakan atau disyukuri BERKURANGNYA usia kita? Semakin dekatnya kita dengan KUBUR? SUDAH SIAPKAH kita untuk itu? Akankah kita bisa merayakannya tahun depan?

Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri MEMPERHATIKAN apa yang telah diperbuatnya UNTUK HARI ESOK (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18).

Seorang muslim dia dituntut untuk MUHASABAH setiap hari, karena setiap detik yang dilaluinya TIDAK akan pernah kembali lagi sampai nanti dipertemukan oleh ALLAH pada hari penghisaban , yang tidak ada yang bermanfaat pada hari itu baik anak maupun harta kecuali orang yang menghadap ALLAH dengan membawa hati yang ikhlas dan amal yang soleh.

Jadi, alangkah baiknya jika tradisi jahiliyah ini kita buang jauh-jauh dari diri kita, keluarga dan anak-anak kita dan menggantinya dengan tuntunan yg mulia yang diajarkan oleh Rasulullah.

___________________________

Sahabatmu Anwar Baru Belajar

Silahkan dibaca juga link ini :

Siapa bilang kalau Ulang Tahun Tidak ada Kaitannya Dengan Perkara Ibadah ? Silahkan baca :

Sejarah Dan Asal Usul Kue Ulang Tahun

http://www.tokenz.com/history-of-birthday-cake.html

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.tokenz.com/history-of-birthday-cake.html

HUKUM PERAYAAN HARI ULANG TAHUN

http://www.facebook.com/profile.php?id=100000109380446&ref=ts#!/note.php?note_id=104651970683&id=1275657261&ref=mf

Islam Saya Islam Yang Mana ? [Hanya Renungan : Mode On]

http://www.facebook.com/note.php?saved&&note_id=154654267911090#!/notes/anwar-baru-belajar/islam-saya-islam-yang-mana-hanya-renungan-mode-on/154654267911090

Kitabullah (Al Qur'anul Karim) Adalah Kitab Terakhir Yang Diturunkan Oleh Allah, Rabb Semesta Alam. Al Qur'an Adalah Penghapus Kitab Taurat, Zabur, Injil dan Seluruh Kitab Yang Diturunkan Sebelumnya.

http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2880-kesesatan-dakwah-penyatuan-agama.html

Di Scan oleh : Anwar Baru Belajar

My website : Hijrah dari Syirik dan Bid'ah

http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/

Read more ...

Keutamaan-Keutamaan Madinah Tercinta

02 Mei 2011
1. Kecintaan Nabi Shalallahu'alaihi wasallam pada Madinah. Nabi bersabda "Jadikanlah kecintaan kami pada Madinah sebagaimana kecintaan kami pada Makkah atau lebih…" (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Bahwasanya iman akan kembali ke Madinah, sebagaimana termuat dalam hadits Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam “Sesungguhnya iman akan kembali keMadinah sebagaimana kembalinya seekor ular kedalam sarangnya” (HR Bukhari dan Muslim).

Maksudnya adalah bahwa iman akan menuju ke Madinah dan akan kuat berada di sana dan kaum muslimin berbondong-bondong menuju Madinah. Pendorong semua itu adalah keimanan dan kecintaan terhadap tempat yang penuh berkah ini, yang telah Allah jadikan sebagai tanah haram.

3. Allah menjadikan kota Madinah sebagai tanah haram (tanah suci) yang aman sebagaimana Allah menjadikan Mekah sebagai tanah haram yang aman.

Nabi Shalallahu'alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya Nabi Ibrahim telah menjadikan Mekah sebagai tanah haram, maka sayapun menjadikan Madinah sebagai tanah haram.” (HR Muslim).

Maksud dari pengharaman yang disandarkan kepada Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim 'Alahissalam adalah untuk menegaskan pengharamannya. Karena pada hakekatnya yang mengharamkan adalah Allah. Dialah yang menjadikan Mekah dan Madinah sebagai tanah haram.

4. Kesucian Kota Madinah
Tatkala nabi Shalallahu'alaihi wasallam menerangkan kesucian (keharaman) kota Madinah, beliau menerangkan pula kedudukannya yang agung serta bahaya berbuat bid’ah didalamnya, beliau bersabda “Kota Madinah adalah tanah haram antara iir dan tsaur. Barangsiapa yang berbuat bid’ah (atau dosa) atau melindungi pelaku bid’ah (atau dosa) maka baginya laknat Allah dan para malaikat serta manusia seluruhnya. Allah tidak menerima darinya amalan wajib maupun sunnahnya” (HR Bukhari dan Muslim).

5. Nabi Shalallahu'alaihi wasallam menamakannya dengan nama “طيبة” (Thayyibah yang artinya baik) dan juga ”طابة” (Thobah yang artinya baik).

Bahkan terdapat keterangan dalam sahih muslim bahwa Allah menamakannya dengan ”طابة” .
Nabi Shalallahu'alaihi wasallam bersabda “ Sesungguhnya Allah menamakan kota Madinah ini dengan ”طابة” “ Kedua nama ini berasal dari kalimat “الطيب” yang menunjukkan pada arti baik. Kedua kalimat tersebut digunakan untuk menunjukkan kebaikan dan dimaksudkan untuk sebuah tempat yang penuh kebaikan.

6. Nabi Shalallahu'alaihi wasallam menggambarkan bahwa kota Madinah adalah sebuah kota yang memakan kota lain.

Beliau bersabda “Saya dperintahkan menuju sebuah kota yang memakan kota yang lain (maksudnya diperintahkan untuk hijrah kota tersebut yaitu sebuah kota yang memakan kota yang lain) mereka menamakannya kota yatsrib yaitu Madinah.” (HR Bukhari dan Muslim).

Perkataan Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam “memakan kota” ditafsirkan bahwa kota Madinah akan ditolong dan akan mengalahkan kota yang lain. Ditafsirkan juga bahwa kota Madinah akan menghasilkan ghanimah (harta rampasan perang) yand didapat dari jihad fii sabilillah. Ghanimah tersebut akan mengalir ke kota Madinah.

Kedua hal ini telah terjadi dan terbukti. Kota Madinah telah mengalahkan kota-kota yang lain, muncul darinya juru dakwah yang memperbaiki keadaan manusia serta para ahli perang yang membawa kemenangan. Mereka mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya dengan izin Allah. sehingga masuklah orang-orang kedalam agama islam. Maka segala kebaikan yang muncul bagi penduduk bumi bersumber dari kota Madinah, yaitu kota Rasulullah saw. Oleh karena itu gelar kota Madinah memakan kota yang lain dibenarkan dengan kenyataan bahwa Madinah diberi pertolongan dalam mengalahkan kota lain, hal itu terbukti pada generasi awal dengan rombongan pertamanya dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam dan para khalifah ar rasyidin Radhiyallahu'anhum. Begitu pula telah terjadi dihasilkannya ghanimah dan mengalirnya ghanimah tersebut kekota Madinah. Nabi Shalallahu'alaihi wasallam pun telah mengabarkan bahwa harta kisra dan kaisar akan diinfakkan dijalan Allah, dan hal itu telah terjadi, harta tersebut didatangkan ke Madinah dan telah dibagi-bagi oleh Umar bin khattab Al Faruq Radhiyallahu'anhu.

7. Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam memerintahkan untuk bersabar atas berat dan kerasnya Madinah.

Beliau bersabda “Madinah lebih baik bagi mereka seandainya mereka mengetahuinya.”
Hadits ini muncul berkenaan dengan orang-orang yang berfikir untuk berpindah dari medinah kekota lain yang lebih nyaman dan lebih mudah rizkinya serta lebih banyak hartanya, maka nabi pun bersabda bahwa “kota Madinah lebih baik bagi mereka seandainya mereka mengetahuinya. Tidak ada seorangpun yang meninggalkan Madinah karena tidak menyukainya melainkan Allah akan gantikan dengan orang yang lebih baik darinya. Dan tidak ada seorangpun yang tegar menghadapi berat dan kerasnya Madinah melainkan aku akan menjadi pemberi syafaat atau saksibaginya pada hari kiamat.” (HR Muslim).

Hadits ini menunjukkan akan keutamaan kota Madinah serta keutamaan bersabar menghadapi berat dan kerasnya Madinah serta kesempitan hidup jika terjadi pada seseorang. Maka janganlah hal itu diadikan sebagai alasan untuk pindah kekota lain demi mendapatkan kenyamanan ataupun keluasan rizki, bahkan yang seharusnya dilakukan adalah bersabar atas apa yang terjadi didalamnya, karena dia telah dijanjikan dengan janji yang agung serta pahala yang banyak dari Allah ta’ala.

8. Nabi Shalallahu'alaihi wasallam mendoakan keberkahan untuk Madinah, diantaranya sabda Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam “Ya Allah, berkahilah kami pada buah – buahan kami, berkahilah kami pada kota kami, berkahilah pada sha’ kami dan berkahilah pada mud kami.” (HR Muslim).

9. Keluarnya Demam dari kota Madinah. Nabi Shalallahu'alaihi wasallam bersabda: "Saya melihat bagaikan seorang wanita berkulit hitam dengan kepala yang menakutkan (bentuk kepala yang mengerikan) keluar dari kota Madinah, kemudian menetap di Mahi'ah (nama tempat)-yaitu Juhfah-maka akupun menta'wilkannya dengan waba Madinah yang telah pindah kedaerah tersebut". (HR Bukhari).

Juhfah adalah nama daerah yang sekarang di jadikan tempat miqad untuk mereka yang datang berhaji/ berumroh dari negara Irak dan sekitarnya.

10. Bahwa kota Madinah tidak dimasuki penyakit thaun dan tidak pula dimasuki oleh Dajjal. Beliau Shalallahu'alaihi wasallam bersabda, “Di penjuru Madinah terdapat malaikat. Thaun dan Dajjal tidak bisa memasukinya.” (HR Bukhari dan Muslim).

11. Didalam kota Madinah terdapat dua masjid agung yaitu Masjid Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam (Masjid Nabawi) dan Masjid Quba.

Adapun Masjid Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam memiliki keutamaan yang diterangkan dalam banyak hadits diantaranya sabda Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam “Tidak boleh safar (bepergian jauh; dalam rangka ibadah) kecuali menuju tiga masjid: Masjidil haram, masjid ini (Masjid Nabawi) dan Masjidil Aqsha.” (HR Bukhari dan Muslim).
Salah satu masjid tersebut terletak di Madinah.
Juga tentang keutamaan sholat di dalamnya, yaitu lebih utama dari pada seribu kali sholat di tempat (masjid) lain. Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam bersabda “Sholat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali sholat di tempat lain kecuali Masjidil Haram.” (HR Bukhari dan Muslim).

12. Raudhah (Taman)
Nabi Shalallahu'alaihi wasallam bersabda, “Di antara rumahku dengan mimbarku terletak sebuah raudhah (taman) dari taman-taman surga. Mimbarku itu ada di atas telagaku.”

13. Keutamaan shalat di Masjid Quba diganjar pahala umroh, Nabi Shalallahu'alaihi wasallam dulu senantiasa mendatangi Masjid Quba setiap hari sabtu kadang berjalan kaki, kadang berkendaraan dan shalat di dalamnya dua rakaat.

14. Di madinah terdapat Gunung Uhud, Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam bersabda "Ini gunung yang mencintai kita dan kita mencintainya" (HR Bukhari dan Muslim).

15. Keutamaan wafat di Madinah. Nabi Shalallahu'alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa yang sanggup untuk mati di Madinah maka lakukanlah, sesungguhnya saya akan memberikan syafaat bagi siapa yang mati di Madinah". (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Umar ibn Khattab Radhiyallahu'anhu berdoa, “Ya Allah, karuniakanlah aku suatu anugerah, yaitu mati syahid di jalan-Mu (yakni dalam membela agama Mu), dan jadikanlah kematianku di negeri Rasul-Mu.” Dan Allah mengabulkan permohonannya.


***Subhanallah..semoga kami (bersama keturunan-keturunan kami kelak, insyaAllah) yang saat ini diberi kesempatan tinggal di Madinah dapat meraih keutamaan-keutamaan dari Kota Rasulullah ini ...amiin Yaa Rabbal Alamin...***

Sumber : Indahnya Berbagi dengan sedikit editan dari saia..***
Read more ...

Mengenal Sosok Mulia Atha’ ibn Abi Rabah; Pemilik Fatwa di Masjidil Haram dan Pewaris Abdullah ibn Abbas

01 Mei 2011

Alhamdulillah...hari ini masih diberi kesempatan menghirup segarnya udara pagi di bumi Madinah. Seperti biasa setelah semua rutinitas pagi selesai saya kerjakan, saya kemudian online dan membuka beberapa website termasuk blog saya dan mendapati untaian kalimat bijak di ruang widgets 'Wiseword Today'. Kalimat bijak tersebut berbunyi :
"Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian (dari kalangan para sahabat dan tabi'in) membenci ucapan yang tidak bermanfaat. Mereka mengganggap bahwa semua ucapan termasuk dalam ucapan yang tidak bermanfaat, kecuali tiga hal : (1) membaca al-Qur'an, (2) amar ma'ruf nahi munkar dan (3) pembicaraan seseorang dalam hal yang memang ia harus berbicara tentangnya seperlunya."

Kalimat bijak yang berasal dari seorang atba'ut tabi'in mulia Atha' ibn Abi Rabah yang sangat berkesan dan sejenak mampu membawa saya memuhasabah setiap perkataan yang pernah terlontar dari lisan saya baik secara langsung maupun tidak (via dunia maya). Subhanallah, sungguh banyak perkataan yang tidak mendatangkan manfaat dan berharap kedepannya apa-apa yang keluar dari lisan ini lebih bermanfaat bagi diri pribadi juga orang lain..amiin.

Setelah membaca kalimat bijak dari beliau, saya tergelitik untuk mengenal beliau lebih jauh, maka saya coba browser dan Allhamdulillah saya mendapatkan link yang bagus yang menjelaskan siapa beliau. Dan sangat ingin berbagi dengan yang lain tentang siapa beliau agar bukan hanya saya saja tetapi siapa saja yg sempat berkunjung ke blog saya juga dapat mengambil banyak manfaat dari kehidupan beliau, insyaAllah.
So..let's read shirah about him carefully!

Atha' ibn Abi Rabah; Pemilik Fatwa di Masjidil Haram
dan Pewaris Abdullah ibn Abbas

"Saya tidak melihat orang yang mencari ilmu karena Allah, kecuali tiga orang yakni: 'Atha', Thawus, dan Mujahid." Salamah bin Kuhail

Kita sekarang memasuki sepuluh hari terakhir bulan Dzul Hijjah tahun 97 H. Dan rumah tua (Ka'bah) ini disesaki oleh tamu-tamu Allah dari segala penjuru; para pejalan kaki dan para pengendara, Tua dan muda, Laki-laki dan perempuan, berkulit hitam dan putih; orang arab dan non Arab serta tuan dan ada yang dipertuan alias rakyat.
Mereka semua telah datang menghadap Raja manusia dengan khusyu' seraya bertalbiyah dan mengharapkan pahala Allah.

Tersebutlah, Sulaiman bin Abdul Malik, seorang Khalifah kaum muslimin dan salah seorang raja agung yang pernah bertahta di muka bumi sedang berthawaf di sekeliling Ka'bah dengan kepala terbuka dan bertelanjang kaki. Dia hanya mengenakan kain sarung dan selendang. Kondisinya kala itu sama seperti saudara-saudaranya fillah yang menjadi rakyat jelata. Sementara di belakangnya ada dua orang putranya, keduanya adalah dua anak muda yang keceriaan wajahnya bagaikan bulan purnama dan wangi dan kilauannya ibarat bunga yang sedang mekar.
Begitu khalifah menyelesaikan thawafnya, beliau menengok ke arah salah seorang pengawalnya sembari berkata,
"Di mana sahabatmu?."
Orang itu menjawab, "Dia di sana sedang shalat", Sambil menunjuk ke pojok Barat Masjid Al-Haram. Lalu Khalifah dengan diikuti kedua putranya menuju tempat yang ditunjuk oleh pengawal tersebut.

Para pengawal pribadinya ingin mengikuti khalifah guna melebarkan jalan bagi dan melindunginya dari suasana berdesak-desakan. Akan tetapi Khalifah melarang mereka melakukan hal itu sembari berkata,
"Para raja dan rakyat jelata sama kedudukannya di tempat ini. Tidak seorang pun yang lebih mulia dari orang lain, kecuali berdasarkan penerimaan (terhadap amalnya) dan ketakwaan. Boleh jadi ada orang yang kusut dan lusuh berdebu datang kepada Allah, lalu Allah menerima ibadahnya dan pada saat yang sama, para raja tidak diterima oleh-Nya.

Kemudian Khalifah berjalan menuju orang tersebut, lalu dia mendapatinya masih melaksanakan shalat, khusyu' di dalam ruku' dan sujudnya. Sedangkan orang-orang duduk di belakang, di sebelah kanan dan kirinya, lalu Khalifah duduk di barisan paling belakang dari majlis tersebut dan mendudukkan kedua anaknya di situ.
Mulailah dua anak muda Quraisy ini mengamati laki-laki yang dituju Amirul mu'minin (bapak mereka) dan duduk bersama orang-orang awam lainnya; menunggunya hingga selesai dari shalatnya.

Ternyata orang itu adalah seorang tua yang berasal dari Habasyah, berkulit hitam, berambut keriting lebat dan pesek hidungnya. Jika dia duduk tampak bagaikan gagak hitam.

Ketika orang itu telah selesai dari shalatnya, dia menoleh ke arah dimana Khalifah berada. Lalu Sulaiman bin Abdul Malik, sang khalifah memberi salam dan orang itu membalasnya.

Saat itulah Khalifah menyongsongnya dan bertanya tentang manasik haji, dari satu hal ke hal lainnya, dan orang itu menjawab setiap pertanyaan dengan jawaban yang tuntas dan memerincinya sehingga tidak memberikan kesempatan lagi bagi si penanya untuk bertanya lagi. Dan dia juga menisbahkan setiap perkataan yang diucapkannya kepada sabda Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.

Ketika Khalifah telah selesai mengajukan pertanyaannya, beliau mengucapkan, "Mudah-mudahan Allah membalas anda dengan kebaikan," dan beliau berkata kepada kedua putranya, "Berdirilah," lalu keduanya berdiri… Kemudian mereka bertiga berlalu menuju tempat sa'i.

Ketika mereka bertiga di pertengahan jalan menuju tempat sa'i, antara Shafa dan Marwa, kedua anak muda itu mendengar ada orang-orang yang berseru,
"Wahai kaum muslimin, siapapun tidak boleh memberi fatwa kepada orang-orang di tempat ini, kecuali 'Atha' bin Abi Rabah. Dan jika dia tidak ada, maka Abdullah bin Abi Nujaih.

Maka salah satu dari kedua anak muda itu menoleh kepada ayahnya seraya berkata,
"Bagaimana mungkin pegawai Amirul mu'minin bisa menyuruh orang-orang supaya tidak meminta fatwa kepada siapapun selain kepada 'Atha' bin Abi Rabah dan sahabatnya kemudian kita telah datang meminta fatwa kepada orang ini?… seorang yang tidak peduli terhadap kehadiran Khalifah dan tidak memberikan penghormatan yang layak terhadapnya?."

Maka Sulaiman berkata kepada putranya,
"Orang yang telah kamu lihat -wahai anakku- dan yang kamu lihat kita tunduk di depannya inilah 'Atha' bin Abi Rabah, pemilik fatwa di Masjid Haram dan pewaris Abdullah bin Abbas di dalam kedudukan yang besar ini."
Kemudian Khalifah melanjutkan perkataannya,
"Wahai anakku, belajarlah ilmu, karena dengan ilmu orang rendah akan menjadi mulia, orang yang malas akan menjadi pintar dan budak-budak akan melebihi derajat raja."

Perkataan Sulaiman bin Abdul Malik kepada putranya tentang masalah ilmu tidaklah berlebihan. Karena 'Atha' bin Abi Rabah pada masa kecilnya adalah hamba sahaya milik seorang perempuan penduduk Mekkah. Akan tetapi, Allah 'Azza wa Jalla memuliakan budak Habasyah ini, dengan meletakkan kedua kakinya semenjak kecil di jalan ilmu. Dia membagi waktunya menjadi tiga bagian: Satu bagian untuk majikan perempuannya, mengabdi kepadanya dengan sebaik-baik pengabdian dan memberikan hak-haknya dengan sempurna. Dan satu bagian dia jadikan untuk Tuhannya. Waktu ini dia gunakan untuk beribadah dengan sepenuh-penuhnya, sebaik-baiknya dan seikhlas-ikhlasnya kepada Allah 'Azza wa Jalla. Dan satu bagian lagi dia jadikan untuk mencari ilmu. Dia banyak berguru kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang masih hidup, dan menyerap ilmu-ilmu mereka yang banyak dan murni.

Dia berguru kepada Abu Hurairah, 'Abdullah bin Umar, 'Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Az-Zubair dan sahabat-sahabat mulia lainnya radliyallâhu 'anhum, sehingga hatinya dipenuhi ilmu, fiqih dan riwayat dari Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.
Ketika Majikan perempuannya melihat bahwa budaknya telah menjual jiwanya kepada Allah dan mewakafkan hidupnya untuk mencari ilmu, maka dia melepaskan haknya terhadap 'Atha', kemudian memerdekakannya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah 'Azza wa Jalla, Mudah-mudah Allah menjadikannya bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin.

Semenjak hari itu, 'Atha' bin Abi Rabah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat tinggalnya, sebagai rumahnya, tempat dia berteduh dan sebagai sekolahan yang dia belajar di dalamnya, sebagai tempat shalat yang dia bertaqarrub kepada Allah dengan penuh ketakwaan dan keta'atan. Hal ini membuat ahli sejarah berkata, "Masjid Haram menjadi tempat tinggal 'Atha' bin Abi Rabah kurang lebih dua puluh tahun."

Seorang tabi'i yang mulia 'Atha' bin Abi Rabah ini telah sampai kepada kedudukan yang sangat tinggi di dalam bidang ilmu dan sampai kepada derajat yang tidak dicapai, kecuali oleh beberapa orang semasanya.

Telah diriwayatkan bahwa 'Abdullah bin Umar sedang menuju ke Mekkah untuk beribadah umrah. Lalu orang-orang menemuinya untuk bertanya dan meminta fatwa, maka 'Abdullah berkata, "Sesungguhnya saya sangat heran kepada kalian, wahai penduduk Makkah, mengapa kamu mengerumuniku untuk menanyakan suatu permasalahan, sedangkan di tengah-tengah kalian sudah ada 'Atha' bin Abi Rabah?!."
'Atha' bin Abi Rabah telah sampai kepada derajat agama dan ilmu dengan dua sifat:

Pertama, Bahwa dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas jiwanya. Dia tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk bersenang-senang dengan sesuatu yang tidak berguna.

Kedua, Bahwa dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas waktunya. Dia tidak membiarkannya hanyut di dalam perkataan dan perbuatan yang melebihi keperluan.
Muhammad bin Suqah bercerita kepada pengunjungnya, "Maukah kamu mendengar suatu ucapan, barangkali ucapan ini dapat memberi manfaat kepadamu, sebagaimana ia telah memberi manfaat kepadaku?."
Mereka berkata, "Baik."

Dia berkata, "Pada suatu hari, 'Atha' bin Abi Rabah menasehatiku, Dia berkata, 'Wahai keponakanku, Sesungguhnya orang-orang sebelum kami dahulu tidak menyukai perkataan yang sia-sia." Lalu aku berkata, 'Dan apa perkataan yang sia-sia menurut mereka?' 'Atha' berkata, 'Dahulu mereka menganggap setiap perkataan yang bukan membaca atau memahami Kitab Allah 'Azza wa Jalla sebagai perkataan sia-sia. Demikian pula dengan bukan meriwayatkan dan mengaji hadits Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam atau menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar atau ilmu yang dapat dibuat taqarrub kepada Allah Ta'ala atau kamu berbicara tentang kebutuhanmu dan ma'isyahmu yang harus dibicarakan. Kemudian dia mengarahkan pandangannya kepadaku dan berkata, Apakah kamu mengingkari "sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu) " (Al-Infithar, ayat: 10)
Dan bersama setiap kamu ada dua malaikat "Seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir "(Qaaf, ayat: 17-18).

Kemudian dia berkata, "Apakah salah seorang di antara kita tidak malu, jika buku catatannya yang dia penuhi awal siangnya dibuka di depannya, lalu dia menemukannya apa yang tertulis di dalamnya bukan urusan agamanya dan bukan urusan dunianya."

Allah Azza wa Jalla benar-benar menjadikan ilmu 'Atha' bin Abi Rabah bermanfaat bagi banyak golongan manusia. Di antara mereka ada orang-orang yang khusus ahli ilmu dan ada orang-orang pekerja dan lain-lainnya.

Imam Abu Hanifah An-Nu'man bercerita tentang dirinya. Dia berkata: Aku telah berbuat kesalahan dalam lima bab dari manasik haji di Makkah, lalu tukang cukur mengajariku...yaitu bahwa aku ingin mencuckur rambutku supaya aku keluar dari ihram, lalu aku sewaktu hendak cukur, aku berkata, "Dengan bayaran berapa anda mencukur rambutku?"

Maka tukang cukur itu menjawab:Mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada anda. Ibadah tidak disyaratkan dengan bayaran, duduklah dan berikan sekedar kerelaan." Maka aku merasa malu dan aku duduk, namun aku duduk dalam keadaan berpaling dari arah kiblat.
Lalu tukang cukur itu menoleh ke arahku supaya aku menghadap kiblat, dan aku menurutinya, dan aku semakin grogi.

Kemudian aku menyilakannya supaya dia mencukur kepalaku sebelah kiri, tetapi, dia berkata, "Berikan bagian kanan kepala anda, lalu aku berputar. Dan mulailah dia mencukur kepalaku, sedangkan aku terdiam sambil melihatnya dan merasa kagum kepadanya. Lalu dia berkata kepadaku, "Kenapa anda diam? Bertakbirlah." Lalu aku bertakbir, sehingga aku berdiri untuk siap-siap pergi. Lalu dia berkata: Ke mana anda akan pergi? Maka aku menjawab, "Aku akan menuju kendaraanku." Lalu dia berkata, shalatlah dua rakaat, kemudian pergilah kemana anda suka." Lalu aku shalat dua rakaat dan aku berkata di dalam hati, "Seorang tukang cukur tidak akan berbuat seperti ini, kecuali dia adalah orang yang berilmu." Maka aku berkata kepadanya: Dari mana anda dapatkan manasik yang anda perintahkan kepadaku ini?
Maka dia berkata: Demi Allah, Aku telah melihat 'Atha' bin Abi Rabah melakukannya lalu aku mengikutinya dan aku mengarahkan orang lain kepadanya.
Dunia telah berdatangan kepada 'Atha' bin Abi Rabah namun dia berpaling dan menolaknya dengan keras Dia hidup sepanjang umurnya hanya dengan mengenakan baju yang harganya tidak melebihi lima dirham.

Para khalifah telah mengundangnya supaya dia menemani mereka. Akan tetapi bukan dia tidak memenuhi ajakan mereka, karena mengkhawatirkan agamanya daripada dunianya; akan tetapi disamping itu dia datang kepada mereka jika dalam kedatangannya ada manfaat bagi kaum muslimin atau ada kebaikan untuk Islam. Di antaranya seperti yang diceritakan oleh Utsman bin 'Atha' Al-Khurasani, dia berkata, "Aku di dalam suatu perjalanan bersama ayahku, kami ingin berkunjung kepada Hisyam bin Abdul Malik. Ketika kami telah berjalan mendekati Damaskus, tiba-tiba kami melihat orang tua di atas Himar hitam, dengan mengenakan baju jelek dan kasar jahitannya. serta memakai jubah lusuh dan berpeci. Tempat duduknya terbuat dari kayu, maka aku tertawakan dia dan aku berkata kepada ayah, "Siapa ini?" Maka ayah berkata, "Diam, ini adalah penghulu ahli fiqih penduduk Hijaz 'Atha' bin Abi Rabah." Ketika orang itu telah dekat dengan kami, ayah turun dari keledainya.

Orang itu juga turun dari himarnya, lalu keduanya berpelukan dan saling menyapa. Kemudian keduanya kembali menaiki kendaraannya, sehingga keduanya berhenti di pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Ketika keduanya telah duduk dengan tenang, keduanya dipersilakan masuk. Ketika ayah telah ke luar, aku berkata kepadanya, Ceritakanlah kepadaku; tentang apa yang anda berdua lakukan, maka ayah berkata, "Ketika Hisyam mengetahui bahwa 'Atha' bin Abi Rabah berada di depan pintu, beliau segera mempersilakannya masuk- dan demi Allah, aku tidak bisa masuk, kecuali karena sebab dia, dan ketika Hisyam melihatnya, beliau berkata, Selamat datang, selamat datang. Kemari, kemari, dan terus beliau berkata kepadanya, Kemari, kemari, sehingga beliau mempersilakan duduk bersamanya di atas permadaninya, dan menyentuhkan lututnya dengan lututnya." Dan di antara orang-orang yang duduk adalah orang-orang besar, dan tadinya mereka berbincang-bincang lalu mereka terdiam. Kemudian Hisyam menghadap kepadanya dan berkata, "Apa keperluan anda wahai Abu Muhammad?" 'Atha' berkata, "Wahai Amirul Mu'minin; Penduduk Haramain (Makkah dan Madinah) adalah penduduk Allah dan tetangga Rasul-Nya, berikanlah kepada mereka rizki-rizki dan pemberian-pemberian. Maka Hisyam menjawab, "Baik, Wahai ajudan; Tulislah untuk penduduk Makkah dan Madinah pemberian-pemberian dan rizki-rizki mereka untuk waktu satu tahun.

Kemudian Hisyam berkata, Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?." 'Atha' berkata, "Ya wahai Amirul mu'minin, penduduk Hijaz dan penduduk Najd adalah inti arab dan pemuka Islam, maka berikanlah kepada mereka kelebihan sedekah mereka." Maka Hisyam berkata, "Baik, wahai ajudan, Tulislah, bahwa kelebihan sedekah mereka dikembalikan kepada mereka."
"Apakah ada keperluan lain selain itu wahai Abu Muhammad?" Ya wahai Amirul mu'minin, Kaum muslimin yang menjaga di perbatasan, mereka berdiri di depan musuh-musuh anda, dan mereka akan membunuh setiap orang yang berbuat jahat kepada kaum muslimin, maka berikanlah sebagian rizki kepada mereka, karena kalau mereka mati, maka perbatasan akan hilang."

Maka Hisyam berkata, "Baik, wahai ajudan, tulislah, supaya dikirim rizki kepada mereka." "Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?"
'Atha' berkata, "Ya, wahai Amirul mu'minin; Orang-orang kafir dzimmi supaya tidak dibebani dengan apa yang mereka tidak mampu, karena apa yang anda tarik dari mereka adalah merupakan bantuan untuk anda atas musuh anda."
Maka Hisyam berkata, "Wahai ajudan tulislah untuk orang-orang kafir dzimmi, supaya mereka tidak dibebani dengan sesuatu yang mereka tidak mampu."
"Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?
'Atha' berkata, Ya, Bertakwalah kepada Allah di dalam diri anda wahai Amirul mu'minin, dan ketahuilah bahwa anda diciptakan di dalam keadaan sendiri. dan anda akan mati didalam keadaan sendiri...dan anda akan dibangkitkan di dalam keadaan sendiri dan anda akan dihisab dalam keadaan sendiri dan demi Allah tidak seorang pun dari orang yang anda lihat bersama anda."
Maka Hisyam menyungkurkan wajahnya ke tanah dan menangis, lalu 'Atha' berdiri dan aku berdiri bersamnya.

Dan ketika kami telah sampai ke pintu, ternyata ada seseorang yang mengikuti 'Atha' dengan membawa kantong, dan aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya, dan orang itu berkata kepadanya, "Sesungguhnya Amirul mu'minin mengirim ini kepada anda." Maka 'Atha' berkata, "Maaf aku tidak akan menerima ini."
"Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam " (Asy-Syuara', ayat:109)
Demi Allah, Sesungguhnya 'Atha' menemui Khalifah dan keluar dari sisinya tanpa meminum setetes air pun.

Selanjutnya 'Atha' bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang hingga seratus tahun. Umur itu dia penuhi dengan ilmu, amal, kebaikan dan takwa.
Dan dia membersihkannya dengan zuhud dari kekayaan yang ada di tangan manusia dan sangat mengharap ganjaran yang ada di sisi Allah.
Ketika dia wafat, dia di dalam keadaan ringan dari beban dunia. Banyak berbekal dengan amal akhirat. Selain itu, Dia melakukan ibadah haji sebanyak tujuh puluh kali, beliau melakukan di dalammya 70 kali wukuf di arafah.
Di sana dia memohon kepada Allah keridlaan-Nya dan surga-Nya.
Dan memohon perlindungan kepada-Nya dari murka-Nya dan dari neraka-Nya.


Rujukan:
1- Ath-Thabaqat Al-Kubra, oleh Ibnu Sa'd: 2/386.
2- Hilyatul Auliya', oleh Abu Nu'aim: 3/310.
3- Sifat Ash-Shafwah, oleh Ibnu Al-Jauzi: 2/211.
4- Ghuraru Al-Khashaish: 117.
5- Wafayat Al-A'yan, oleh Ibnu Khalkan: 3/261
6- Thabaqat Asy-Syairazi: lembar ke 17.
7- Nukatu Al-Hamya: 199.
8- Mizanu Al-I'tidal: 2/197
9- Tadzkiratu Al-Huffadz: 1/92.
10- Tahdzib At-Tahdzib: 7/199.
11- Nuzhatu Al-Khawathir: 1/85.

sumber : Al Sofwah

Read more ...

SMS gratis!

Klik di sini!
free counters