. wisecorner: hukum
Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan

Zakat Fithrah

24 Agustus 2011


Zakat Fithrah
(Al Balagh Ed.62/Th.2/1427 H)

Zakat fithrah  merupakan zakat yang disyariatkan didalam Islam berupa satu sha’ dari makanan yang dikeluarkan seorang muslim di akhir Ramadhan, dalam rangka menampakkan rasa syukur atas nikmat Allah Ta’ala dalam berbuka dari Ramadhan dan penyempurnaannya. Oleh karena itu  dinamakan sedekah fithrah atau zakat fithrah (Lihat Fatawa Ramadhan 2:901).


Hukum Zakat Fithrah 

Zakat fithrah merupakan salah satu kewajiban yang diwajibkan kepada kaum muslim dan wajib dikeluarkan oleh seorang muslim baik laki-laki atau perempuan, besar, kecil, budak atau merdeka, hal ini berdasarkan beberapa dalil:




1. Hadits Ibnu ‘Umar Radiallahu ‘anhu:
beliau berkata “Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi Wasallam telah mewajibkan zakat fithrah dari bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas hamba merdeka laki-laki, perempuan, kecil maupun dewasa dari orang Islam” (HR. Al Bukhari dan Muslim)


2. Hadits Abu Sa’id  Al-Khudry Radiallahu ‘anhu
“Kami dahulu pada zaman Nabi memberikan (zakat fithrah) satu sha’ dari makanan atau satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum atau kismis (anggur kering)” (HR. Bukhari).
3. Hadits Ibnu Abbas Radiallahu ‘anhu :”Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi Wasallam telah mewajibkan zakat fithrah itu sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan ucapan yang kotor dan sebagai pemberi makan orang yang miskin …” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Daraquthni dan Hakim)


4. Perkataan Sa’id bin Musayyib dan ‘Umar bin Abdul Aziz Radiallahu ‘anhuma dalam menafsirkan Firman Allah Ta’ala:
 “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)” (QS Al ‘Ala :14) mereka menafsirkan dengan “Zakat Fithrah”.


5. Ijma’ yang dinukil Ibnu Qudamah dari Ibnul Mundzir , beliau berkata : “Telah bersepakat setiap ahli ilmu bahwa zakat fithrah adalah wajib” (Lihat Al-Mughny 3:80)




Hikmah Zakat Fithrah
1.Dia merupakan zakat untuk tubuh yang telah diberi kehidupan tahun tersebut.


2.Merupakan ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah dilimpahkan kepada orang yang berpuasa.


3.Menjadi makanan bagi fakir miskin dan pembersih bagi orang yang berpuasa dari hal-hal yang mengurangi kesempurnaannya pada bulan Ramadhan (Lihat Fatawa Ramadhan 2:909-911)


4.Mengobati penyakit hati,  diri pribadi dan sosial seperti : Bakhil, egois, rakus, tamak, iri, cinta dunia, bahkan permusuhan, penjarahan, kerusuhan, profokasi dan lain-lain.


5.Memberikan jaminan kecukupan bagi fakir miskin minimal dihari itu dari kesusahan dan meminta-minta, menambah kemakmuran sehingga teratasi hak-haknya.


6.Mewujudkan keamanan masyarakat yang rukun, harmonis, saling menolong dan mencukupi dalam kebajikan sehingga terwujud cinta dan iman yang hakiki, maka sukseslah hidup/ pembangunan sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-A’raf 17:96)  (Waznin Mahfudh)




Pembayaran Zakat Fithrah Dan Ukurannnya
Diwajibkan bagi semua golongan yang disebut dalam hadits-hadits diatas untuk membayar zakat fithrah  (anak-anak, orang dewasa, laki-laki, perempuan, orang merdeka maupun budak). Yaitu semua orang Islam yang mampu untuk membayar.
     
Adapun ukuran zakat fithrah adalah satu sha’ dari makan pokok yang setara kurang lebih 3 Kg beras, demikian pendapat syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz Rahimahullah (lihat fatwa Ramadhan 2:925-926).

Jenis Zakat Dan Yang Berhak Menerimanya
 Adapun jenis-jenis makanan yang boleh dipergunakan untuk membayar zakat fithrah ialah makanan pokok penduduk tersebut seperti : Kurma, gandum, beras, kismis, keju kering atau lainnya yang termasuk makanan pokok manusia.
Dan Nabi Sallalahu ‘Alaihi Wasallam telah mewajibkan zakat fithrah satu sha’ dari kurma atau gandum karena itulah makanan pokok penduduk  Madinah, dan seandainya itu bukan makananan pokoknya tentu beliau tidak membebani mereka untuk mengeluarkan zakat dari makanan yang bukan  makanan pokok mereka.
Hal ini disandarkan kepada perkataan Abu Sai’d Al-Khudri radiallahu ‘anhu:
 “Dan makanan kami adalah gandum, kismis, aqith (susu kering/ keju) dan kurma” (HR. Bukhari dan Muslim)

Waktu Pembayaran Zakat Fithrah
Waktu wajib membayar zakat fithrah ialah ketika terbenamnya matahari pada malam hari raya. Maka barang siapa yang memiliki kemampuan untuk membayarnya pada waktu itu, maka ia wajib melaksanakannya. Dengan demikian bila seseorang lahir setelah terbenamnya matahari, sekalipun beberapa menit maka dia tidak wajib dibayarkan zakat fithrahnya dan jika ia lahir sebelum terbenamnya matahari maka wajib dibayarkan zakat fithrihnya.
     
Akan tetapi waktu yang paling utama untuk pembayaran zakat fithrah adalah setelah terbit fajar sebelum shalat ‘Idul fitri berlangsung. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radiallahu ‘anhu  :“Bahwasanya Nabi Sallalahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan membayar zakat fithrah sebelum orang-orang pergi untuk shalat ‘Ied” (HR. Muslim dan lainnya).


Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas  Radiallahu ‘anhu :“…Maka barangsiapa yang menunaikan (zakat fitrah) sebelum shalat (‘Ied) maka itulah zakat yang diterima dan siapa yang menunaikannya setelah shalat (‘Ied) maka termasuk sedekah biasa” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Daraquthni dan Hakim menshahihkannya demikian pula Syekh Al Albani menghasankannya dalam Al-Irwa’ no. 843)
Dan dibolehkan membayar zakat fithrah sehari atau dua hari sebelum ‘Ied, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu ‘Umar  radiallahu ‘anhu   yang diriwayatkan dari Nafi’ ia berkata :“Adalah Ibnu ‘Umar membayarkan zakat fithrah untuk anak-anak dan orang dewasa, dan jika beliau membayarkan zakat fithrah anakku, beliau berikan kepada yang berhak menerimanya. Dan mereka membayar zakat fithrah itu sehari atau dua hari sebelum ‘Ied” (HR. Bukhari)




Golongan Yang Berhak Menerima Zakat Fithrah Dan Tempat Mengeluarkannya 
Golongan yang berhak menerima zakat fithrih adalah fakir miskin sebagaimana yang disebutkan dalam hadits terdahulu. Zakat fithrih itu dibayarkan kepada beberapa orang fakir atau kepada satu orang miskin saja, karena Nabi Sallalahu ‘Alaihi Wasallam hanya menentukan jumlah yang dibayarkan saja dan tidak menentukan jumlah orang yang menerimanya.
     
Sebagian ahli fiqhi berpendapat zakat fithrah juga untuk fakir, miskin, amil, muallaf, budak yang ingin merdeka, orang yang berutang, pejuang agama Allah Ta’ala, musafir yang butuh bekal. Sebagaimana yang disebutkan didalam surat At Taubah ayat 60 (Al-Mughny 4:314)
Namun yang rajih (benar) -Wallahu ‘Alam- bahwa zakat fithrah hanya diperuntukkan kepada fakir miskin saja sesuai dengan hadits-hadits dari Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi Wasallam. Sedang sadaqah dalam surah At Taubah ayat 60 adalah untuk zakat/ shadaqah yang umum/ maal (Lihat Majmuatul Fatawa 13:42) .
     
Adapun tempat mengeluarkan zakat fithrih adalah di daerah tempat sendiri, kecuali bila orang-orang fakir dan miskin negeri tersebut telah terpenuhi sedang di daerah lain banyak fakir miskin atau yang lebih membutuhkan, maka boleh dipindah ke daerah tersebut.
     
Mengenai pembayaran zakat fithrah yang biasa dilakukan orang di zaman sekarang yaitu dengan menggantinya dengan uang yang senilai dengan harga makanan tersebut, tidak pernah dilakukan  oleh Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi Wasallam dan para shahabatnya  yang mana mereka membayar zakat fithrah dengan satu sha’ makanan tidak dengan yang lain dan hal ini juga menyalahi apa yang diperintahkan oleh Rasulullah.  
Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Barang siapa melakukan amalan yang tidak ada perintah dari kami atasnya maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim). 
Wallahu a’lam




sumber : http://www.wahdah.or.id/
Read more ...

Mengucapkan “Alhamdulillah” Setelah Sendawa dan Berta’awwudz Setelah Menguap

02 Juli 2011

Pertanyaan:

Syaikh yang terhormat, jika seseorang bersendawa atau menguap, apakah ada dzikir tertentu?


Jawaban:

Orang awam, bila bersendawa ada yang mengucapkan Alhamdulillah, padahal tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa sendawa menuntut ucapan hamdalah. Begitu pula bila menguap, ada yang mengucapkan, a’udzu billahi minasy syaithanir rajim.

Semua ini tidak ada dalilnya, tidak pernah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam melakukan itu. Bila ada yang mengatakan, “Bukankah sendawa itu suatu nikmat, sementara nikmat itu menjadi hak Allah untuk dipuji?” Kami katakan, memang benar itu nikmat, tapi tidak ada contoh seperti itu dari Nabi Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam bahwa beliau mengucapkan hamdalah ketika sendawa. Jika hal itu tidak dicontohkan berarti tidak disyariatkan.

Demikian berdasarkan kaidah yang dikenal oleh para ulama, yaitu bahwa segala sesuatu yang ditemukan penyebabnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam namun beliau tidak melakukannya, maka itu bukan sunnah, karena perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam adalah sunnah. Sementara meninggalkannya (hal yang tidak dilakukan Rasulullah padahal sebabnya ada saat itu) adalah sunnah.

Sendawa itu ada pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam, namun beliau tidak mengucap hamdalah. Jadi meninggalkan hamdalah saat sendawa adalah sunnah, begitu pula meninggalkan ta’awwudz ketika menguap.

Mungkin ada yang mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam telah mengatakan bahwa menguap itu dari setan, sementara Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman,

Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah.” (Fushilat: 36)

Kami katakan, bahwa yang dimaksud dengan ayat (Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan) adalah bila engkau hendak berbuat maksiat atau hendak meninggalkan suatu kewajiban, maka mohonlah perlindungan kepada Allah, karena ajakan berbuat keji itu berasal dari setan, sebagaimana firman-Nya:

Setan menjanjikan (menakut-nakuti) dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir).” (Al-Baqarah: 268)

Jika terjadi gangguan ini maka mohonlah perlindungan kepada Allah.

Adapun tentang menguap, Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam telah bersabda:

Menguap itu berasal dari setan. Maka jika salah seorang dari kalian menguap, hendaklah menahannya semampunya. Bila tidak mampu, maka hendaklah menutupkan tangannya ke mulutnya.

Dalam lafazh lain disebutkan:

… maka hendaklah menutupkan tangannya ke mulutnya.” [1]

Beliau tidak mengatakan, ‘bila salah seorang kalian menguap maka hendaklah memohon perlindungan kepada Allah, walaupun beliau mengatakan, “Menguap itu berasal dari setan.” Hal ini menunjukkan bahwa memohon perlindungan kepada Allah dari gangguan setan yang terkutuk (mengucapkan ta’awwudz) ketika menguap bukanlah sunnah.

(Liqa’ al-Bab al-Maftuh, 22/23, Syaikh Ibnu Utsaimin)

[1]. HR. al-Bukhari (3289) dan Muslim (2994, 2995)

[Sumber: Ensiklopedia Bid’ah Hammud bin Abdullah al-Mathar, hal. 365-366, terbitan Darul Haq]


Disadur dari : Taman Sunnah

Read more ...

Bolehkah Memotong Kuku atau Rambut ketika Haid?


Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum ustad….

Apakah boleh memotong kuku atau rambut pada saat haid? Apakah hadist atau ayat yg menyangkut masalah ini?
makasih wassalam..

Abdillah XXXXXd ( illahXXXXXXX@XXXXX.co.id )

Jawaban:

Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullah

Tidak terdapat riwayat yang melarang wanita haid untuk memotong kuku maupun rambut. Demikian pula, tidak terdapat riwayat yang memerintahkan agar rambut wanita haid yang rontok utnku di cuci bersamaan dengan mandi paska haid. Bahkan sebaliknya, terdapat riwayat yang membolehkan wanita haid untuk menyisir rambutnya. Padahal, tidak mungkin ketika wanita yang menyisir rambutnya, tidak ada bagian rambut yang rontok. Disebutkan dalam shahih Bukhari, bahwa ketika Aisyah mengikuti haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesampainya di Mekkah beliau haid. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

…..دعي عمرتك وانقضي رأسك وامتشطي

“Tinggalkan umrahmu, lepas ikatan rambutmu dan ber-sisir-lah…”

Hadis ini menunjukkan bahwa rambut rontok atau potong kuku ketika haid hukumnya sama dengan kondisi suci. Artinya, tidak ada kewajiban untuk memandikannya bersamaan dengan mansi haid. Jika hal ini disyariatkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan jelaskan kepada Aisyah agar membawa rambutnya dan memandikannya bersamaan dengan mandi haidnya.

Dalam Fatawa Al-Kubra, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terdapat pertanyaan, “Ketika seorang sedang junub, kemudian memotong kukunya, atau kumisnya, atau menyisir rambutnya. Apakah dia salam dalam hal ini? Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa orang yang memotong rambutnya atau kukunya ketika junub maka semua bagian tubuhnya ini akan kembali pada hari kiamat dan menuntut pemiliknya untuk memandikannya, apakah ini benar?”

Syaikhul Islam memberi jawaban “Terdapat hadis shahih dari Hudzifah dan Abu Hurairah radliallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang orang yang junub, kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.’ Dalam shahih Al-Hakim, ada tambahan, ‘Baik ketika hidup maupun ketika mati.’ Sementara itu, saya belum pernah mendengar adanya dalil syariat yang memakruhkan potong kuku dan rambut, ketika junub. Bahkan sebaliknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang yang masuk islam untuk memotong rambutnya dan berkhitan. Beliau juga memerintahkan orang yang masuk islam untuk mandi. Dan beliau tidak memerintahkan agar potong rambut dan khitannya dilakukan setelah mandi. Tidak adanya perintah, menunjukkan bolehnya potong kuku dan berkhitan sebelum mandi…’” (Fatawa Al-Kubra, 1:275)

Allahu a’lam.



Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Read more ...

Sunnah Memotong/Membersihkan Kuku

06 Juni 2011
Bismillah,
Memotong kuku juga bagian dari sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Yaitu kuku yang melebihi ujung jari, karena dapat menyimpan kotoran yang menjijikkan dibawahnya, dan bahkan bisa menghalangi masuknya air tatkala berwudhu’ atau mandi.

• Waktunya ?

Tidak ada ketentuan hari atau waktu tertentu yang shahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk memotong kuku. Semua hadits yang menceritakan tentang perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam atau perintah beliau untuk memotong kuku pada hari atau waktu tertentu adalah lemah (dho’if).

Diantaranya hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radliyallahu ‘anhu bahwa ia melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memotong kukunya pada hari kamis, kemudian beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan Ali radliyallahu ‘anhu agar memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur habis rambut kemaluan pada hari kamis. Hadits ini lemah (dho’if) sebagaimana diterangkan oleh Al-Imam Az-Zubaidi, Al-Khatib Al-Baghdadi, dan Adz-Dzahabi. Lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Adh-Dha’ifah no. 3239.

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (10/346) menjelaskan, “Dan tidak ada juga hadits (yang shahih) tentang sunnahnya memotong kuku pada hari kamis.” Demikian pula hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senang memotong kukunya pada hari jum’at, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dan Ja’far Al-Baqir.

Hadits tersebut juga lemah sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (10/346). Atas dasar ini, tidak ada keterangan hari tertentu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam yang shahih untuk memotong kuku. Semakin sering seseorang membersihkannya, itulah yang utama.

• Mencuci Ujung Jemari Setelahnya ?

Demikian pula halnya dengan mencuci ujung jemari setelah memotong kuku, tidak ada keterangan yang shahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Hanya saja sebagian ulama’ menyarankan bagi orang yang telah memotong kuku agar membilasnya dengan air. Dengan alasan bahwa seseorang yang memotong kukunya kemudian menggaruk badannya dengan kuku tersebut sebelum dicuci dapat berakibat tidak baik.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Dan disukai mencuci ujung jemari setelah memotong kuku. Karena ada yang mengatakan, bahwa menggaruk badan dengan kuku (yang baru dipotong) sebelum di cuci, dapat berdampak negatif.” (Al-Mughni 1/100)

Asy-Syaikh Abu Hasyim rahimahullah mengomentari pendapat di atas, “Mungkin saja hal itu berdasarkan pengalaman yang mereka alami.” (Syarhu Khishalil Fithrah hal. 10)

• Tata caranya

Diutamakan mendahulukan tangan atau kakinya yang kanan. ‘Aisyah radliyallahu ‘anha mengabarkan,

((كَانَ النَّبِىُّ ` يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ))

“Dahulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senang mendahulukan sisi yang kanan dalam memakai sandal, bersisir, bersuci, dan dalam semua urusannya (yang baik).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Adapun perincian yang disebutkan sebagian ulama’, bahwa ketika memotong kuku dimulai dari jari kelingking sebelah kanan, jari tengah, ibu jari, jari manis, kemudian jari telunjuk. Setelah itu ibu jari sebelah kiri, jari tengah, kelingking, telunjuk, kemudian jari manis.

Atau, dimulai dari jari telunjuk sebelah kanan, lalu jari tengah, jari manis, kelingking, kemudian ibu jari. Setelah itu kelingking sebelah kiri, jari manis, sampai terakhir. (lihat Al-Mughni 1/100 dan Al-Minhaj 3/149) Semua itu tidak ada keterangannya dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Dan tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang urutan jemari ketika memotong kuku.” (Fathul Bari 10/345)

Begitu pula tidak ada keterangan yang shahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tentang mendahulukan tangan sebelum kaki. Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang berpendapat sunnahnya mendahulukan tangan atas kaki ketika memotong (kuku) butuh (mendatangkan) dalil (untuk menguatkan pendapatnya tersebut, pen). Karena hadits-hadits yang ada tidak menunjukkan hal itu.” (Fathul Bari 10/345)

Sebagai kesimpulan, Al-Imam Syamsuddin As-Sakhawi rahimahullah mengatakan, “Tidak ada (hadits yang shahih) tentang tata cara memotong kuku atau penentuan harinya dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.” (Al-Maqashidul Hasanah hal. 489)

• Berwudhu Setelahnya ?

Al-Imam Mujahid, Al-Hakam bin ‘Utbah, dan Hammad rahimahumullah berkata, “Barangsiapa memotong kukunya atau memendekkan kumisnya maka wajib atasnya berwudhu’.” (Fathul Bari 1/281) Pendapat mereka ini dikomentari oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, kata beliau, “Pendapat mayoritas ulama’ menyelisihi mereka. Dan kami tidak mengetahui mereka memiliki hujjah (dalil) atas pendapatnya itu. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.” (Al-Mughni 1/227)

• Memendam Potongan Kuku

Sebagian ulama salaf, seperti Abdullah bin ‘Umar radliyallahu ‘anhuma, Muhammad bin Sirin, Ahmad bin Hanbal rahimahullah, dan selain mereka menyukai memendam potongan kuku atau rambut. Muhannan rahimahullah berkata, “Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal rahimahullah tentang seseorang yang memotong rambut dan kukunya, apakah (potongan rambut dan kukunya itu) dipendam ataukah dibuang begitu saja?” beliau menjawab, “Dipendam”, aku bertanya lagi, “Apakah sampai kepadamu dalil tentang hal ini?” Imam Ahmad menjawab, “Ibnu ‘Umar memendamnya.”

Oleh karena itu, boleh bagi seseorang memendam potongan rambut dan kuku-kukunya, terlebih jika dikhawatirkan akan dijadikan permainan oleh para tukang sihir. Dengan catatan jangan sampai meyakininya sebagai sunnah, karena tidak ada dalil yang shahih tentang hal itu. Dalam memotong kuku boleh meminta bantuan orang lain. Terlebih, bila seseorang tidak bisa memotong kuku kanannya dengan baik. Karena kebanyakan orang tidak dapat menggunakan tangan kirinya dengan baik untuk memotong kuku, sehingga lebih utama baginya meminta orang lain melakukannya agar tidak melukai dan menyakiti tangannya. (Tharhut Tatsrïb fï Syarhit Taqrïb 1/243)
Wallahu a'lam.


sumber : Abu Ayaz's Blog
Read more ...

Hadits-hadits Dha'if dan Maudhu' Seputar Bulan Rajab

05 Juni 2011



Hadits Pertama :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه كَانَ رسول الله صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ رَجَب قَالَ : « اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ »
Dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu adalah Nabi shallallohu alaihi wa sallam jika sudah berada di bulan Rajab, beliau berdoa: "Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban serta perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan"
Takhrij :
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa imam di kitab hadits mereka, diantaranya :
1. Imam Thabrani di Al Mu’jam Al Ausath (4/189) dan di kitab Ad Du’a (1/284); lafal hadits di atas sebagaimana yang beliau riwayatkan di Al Ausath
2. Imam Ahmad di Musnad; Kitab Musnad Bani Hasyim, Bab Bidayah Musnad Abdullah bin Abbas (2342), akan tetapi beliau meriwayatkan dengan lafazh: “...wa baarik lanaa fi Ramadhan”
3. Baihaqi di Syu’abul Iman (3/375) dan di kitab Fadhoil Al Awqat (1/105)
4. Bazzar di Musnadnya (2/290)
5. Ibnu As Sunni di Amal Al Yaum wal Lailah
6. Abu Muhammad Hasan bin Muhammad Al Khallal di Fadhlu Rajab (no.1)
Keterangan :
Dalam sanad hadits ini ada dua perowi yang lemah;
Pertama : Zaidah bin Abu Ruqad Al Bahili; dia seorang yang munkarul hadits (haditsnya mungkar) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bukhari, Nasai, dan Al Hafizh Ibnu Hajar. Abu Hatim Ar Rozi mengatakan, “Dia meriwayatkan dari Ziyad An Numairi dari Anas bin Malik hadits-hadits yang marfu’ namun mungkar...”. Ibnu Hibban di kitabnya Al Majruhin menerangkan, “Dia meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar dari perawi-perawi yang terkenal”
Kedua : Ziyad bin Abdullah An Numairi dia juga seorang yang dinilai lemah oleh Imam Yahya Bin Ma'in, Abu Daud dan Al Hafizh Ibnu Hajar. Abu Hatim berkata : “Haditsnya boleh ditulis namun tidak dijadikan sebagai hujjah”.


Hadits Kedua :
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إنّ في الجَنّةِ نَهْراً يُقالُ لهُ رَجَبٌ, مَاؤُهُ أشَدُّ بَياضاً مِنَ اللَّبَنِ وأحْلَى مِنَ العَسَلِ مَنْ صامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍ سَقاهُ الله مِنْ ذلِكَ النَّهْرِ »
Dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga ada sungai yang disebut dengan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu. Barangsiapa yang berpuasa sehari di bulan Rajab, Alloh akan memberinya minum dari sungai tersebut.”
Takhrij :
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa imam diantaranya :
1. Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/367)
2. Abu Muhammad Hasan bin Muhammad Al Khallal dalam Fadhoil Syahr Rajab (no.3)
3. Ibnul Jauzi di Al ‘Ilal Al Mutanahiyah (2/255)
Keterangan :
Hadits ini lemah karena pada sanadnya terdapat rowi yang bernama Manshur bin Zaid Al Asadi dan Musa bin Umair Al Qurasy.
Manshur bin Zaid adalah seorang yang majhul dan tidak ada meriwayatkan darinya kecuali Muhammad bin Al Mughiroh. Adapun Musa bi Umair Al Qurasyi dia perowi yang lemah, Imam Abu Hatim mengatakan bahwa haditsnya ditinggalkan dan dia seorang pendusta. Al ‘Uqaili dalam Kitab Adh Dhu’afa Al Kabir mengatakan bahwa haditsnya mungkar. Ibnu Ma’in juga menyebutkan bahwa dia bukan perowi yang diperhitungkan.
Diantara ulama yang menerangkan kelemahan hadits ini:
• Imam Ibnul Jauzi dalam kitab beliau Al ‘Ilal Al Mutanahiyah mengatakan tentang hadits ini, “Hadits ini tidak shohih pada sanadnya ada rowi-rowi yang majhul kita tidak mengenali siapa mereka”
• Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Tabyinul ‘Ajab menyebutkan hadits ini sebagai hadits pertama dari contoh hadits-hadits lemah tentang keutamaan Rajab lalu beliau merinci penjelasan tentang kelemahan periwatannya
• Al Albani menghukumi hadits ini sebagai hadits batil


Hadits Ketiga :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يتم صوم شهر بعد رمضان إلا رجب وشعبان
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak pernah berpuasa penuh selama sebulan setelah Ramadhan melainkan pada bulan Rajab dan Sya’ban.”
Takhrij :
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa imam, diantaranya :
1. Thabrani dalam Al Mu’jam Al Ausath (9/161)
2. Baihaqi di Syuabul Iman (3/369)
3. Al Khallal di Fadhl Syahr Rajab (no.4)
Keterangan :
Hadits ini sanadnya dinilai lemah oleh banyak imam diantaranya Imam Baihaqi karena dalam sanadnya terdapat seorang yang bernama Yusuf bin Athiyyah Ash Shoffar padahal hadits ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Thabrani tidak ada meriwayatkannya dari Hisyam kecuali Yusuf bin Athiyyah.
Berikut perkataan para imam tentang Yusuf bin Athiyyah Ash Shoffar :
• Bukhari berkata, “Munkarul hadits (Haditsnya mungkar)”
• Nasaai berkata, “Matrukul hadits” (Haditsnya ditinggalkan)
• Yahya bin Ma’in, “Dia tidak ada apa-apanya”
• Jauzjani berkata, “Haditsnya tidak terpuji”
• Ibnu Hibban berkata, “Dia termasuk seorang yang senantiasa membalikkan sanad-sanad; mengganti matan hadits palsu dengan sanad hadits yang shohih lalu dia meriwayatkannya. Tidak boleh sama sekali berhujjah dengannya”
• Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (3/439) mengatakan bahwa dia seorang yang dhoif (lemah)
• Dzahabi mengatakan bahwa para ulama telah sepakat akan kelemahannya
• Ibnu Hajar berkata dalam Tabyin Al ‘Ajab: “Hadits ini mungkar karena Yusuf bin ‘Athiyah seorang yang dha’if jiddan (sangat lemah)”.


Hadits Keempat :
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « رَجَبٌ شَهْرُ الله تعالى، وشَعْبانُ شَهْرِي ، وَرَمَضانُ شَهْرُ أُمَّتِي... »
Dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Rajab adalah bulannya Alloh, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulannya ummatku...”
Takhrij :
Hadits dikeluarkan oleh Ibnu Asakir di Mu’jamnya (1/114) dan Imam Baihaqi di Fadhoil Al Auqat (1/95)
Keterangan :
Hadits ini dinilai sebagai hadits yang maudhu’ (palsu) oleh banyak ulama, diantaranya :
1. Imam Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al Maudhu’at (2/436-438, no. 1008); beliau menyebutkan bahwa para perowi hadits ini tidak dikenal dan terdapat seorang yang bernama Abul Hasan Ali bin Abdullah bin Jahdham, dia tertuduh sebagai seorang yang pendusta
2. Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at
3. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Al Manar Al Munif
4. As Suyuthi dalam Al La-aali Al Mashnu’ah
5. Ibnu Hajar dalam Tabyiin Al ‘Ajab, beliau berkata : Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Bakr an-Naqqosy al-Mufassir, dan diriwayatkan pula oleh al-Hafizh Abul Fadhl Muhammad bin Nashir di dalam Amali-nya dari an-Naqqosy dengan riwayat yang lengkap -beliau menyebutkan keutamaan setiap hari pada hari-hari di bulan Rajab- lalu Al Hafizh berkata : an-Naqqosy ini adalah seorang pemalsu hadist dan dajjal (pendusta). Imam Abul Khithob Ibnu Dihyah setelah meriwayatkan hadits ini beliau berkata, “hadits ini maudhu’“.


Hadits Kelima :
عن أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « فضل شهر رجب على سائر الشهور كفضل القرآن على سائر الأذكار...».
Dari Anas “Keutamaan Rajab atas seluruh bulan bagaikan keutamaan al-Qur’an atas seluruh dzikir…”
Takhrij :
Ibnu Hajar menyebutkan sanad hadits ini dari Al Hafizh Abu Thohir As Silafi
Keterangan :
Hadits ini dimasukkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Tabyinul ‘Ajab sebagai salah satu contoh dari hadits maudhu’ (palsu) tentang keutamaan Rajab, beliau berkata setelah menyebutkan hadits di atas : “Rijal (Para perawi) sanad ini adalah tsiqot (terpercaya) kecuali as-Saqothi, karena ia cacat dan terkenal memalsukan hadits serta membuat sanad... .”


Hadits Keenam :
عن أبى سعيد الخدرى رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « رجب شهر الله الأصم، من صام من رجب يوما إيمانا واحتسابا استوجب رضوان الله الأكبر».
Dari Abu Said Al Khudri “Rajab adalah bulan Allah yang hening (tidak terjadi peperangan karena termasuk bulan Haram). Barangsiapa yang berpuasa sehari di bulan Rajab dengan penuh keimanan dan mengharap balasan dari Allah, niscaya dia mendapatkan keridhaan Allah terbesar.”
Keterangan :
Ibnu Hajar menjelaskan, “Matan hadits ini tidak memiliki asal, dia dibuat oleh Abul Barakat As Saqti lalu dia merangkai isnadnya...”
Abul Hasan Ibn Arraq dalam At Tanzih Asy Syari’ah mengatakan, “Dalam sanad hadits ini terdapat Abu Harun Al ‘Abdi seorang rawi yang matruk (ditinggalkan) dan yang meriwayatkan darinya ‘Ishom bin Tholiq seorang rowi yang tidak diperhitungkan. Kemungkinan cacat hadits ini berasal dari Abu Harun karena para ulama telah mendustakannya hingga sebagian ulama mengatakan bahwa dia lebih pendusta dari Fir’aun,Wallohu Ta’ala A’lam.
Asy Syaukani mengatakan dalam sanad haditsnya terdapat dua rowi yang matruk (ditinggalkan)


Hadits Ketujuh :
عن أنس مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " من صام ثلاثة أيام من رجب كتب الله له صيام شهر، ومن صام سبعة أيام من رجب أغلق الله سبعة أبواب من النار...
Dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa tiga hari pada bulan Rajab, Alloh akan mencatat baginya puasa sebulan dan barangsiapa yang berpuasa tujuh hari maka Alloh akan menutupkan darinya pintu tujuh neraka…”
Takhrij :
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at dan Abu Syaikh dalam kitan Ats Tsawab
Keterangan :
Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh banyak ulama, diantaranya Imam Ibnul Jauzi, Al Hafizh Ibnu Hajar, Suyuthi, Ibnu ‘Arraq dan Imam Syaukani
Pada sanad Ibnul Jauzi terdapat dua rowi yang sangat lemah yaitu Aban bin Abi ‘Ayyasy dan Amru bin Al Azhar. Berikut ini beberapa perkataan ulama tentang kedua rowi tersebut:
1. Penilaian ulama tentang Aban :
• Syu’bah bin Hajjaj pernah berkata, ‘Aku berzina lebih aku suka ketimbang meriwayatkan hadits dari Aban’.
• Imam Ahmad, Nasaai dan Daraquthni berkata : Matruk (ditinggalkan haditsnya).
2. Penilaian ulama tentang Amr bin Al Azhar
• Imam Ahmad berkata : Dia pernah memalsukan hadits
• Imam Yahya bin Ma’in, Daraquthni dan Dzahabi menyatakan : “Dia pendusta”
• Nasaai mengatakan : Matruk
• Ibnu Hibban : “Dia memalsukan hadits dari perowi-perowi yang terpercaya dan tidak halal menyebutkan namanya kecuali untuk dijelaskan cacatnya”
Adapun sanad Abu Syaikh terdapat seorang yang bernama Husain bin ‘Ulwan, Imam Suyuthi berkata, “Dia pemalsu hadits” dan hukum Suyuthi disetujui oleh Ibnu ‘Arraq


Hadits Kedelapan :
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « من صلى المغرب من أول ليلة من رجب، ثم صلى بعدها عشرين ركعة، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب، وقل هو الله أحد مرة، ويسلم فيهن عشر تسليمات، أتدرون ما ثوابه؟ ... حفظه الله في نفسه وأهله وماله وولده، وأجير من عذاب القبر، وجاز على الصراط كالبرق بغير حساب ولا عذاب »
Dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu.berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang sholat Maghrib di awal malam bulan Rajab kemudian sholat dua puluh rakaat setelahnya, membaca pada setiap rakaatnya surat al-Fatihah dan qul huwallohu ahad satu kali serta mengucapkan salam sebanyak sepuluh kali salam, tahukah kalian apakah ganjarannya?”… Beliau bersabda : “Alloh akan menjaga dirinya, keluarganya, hartanya dan anaknya, dibebaskannya dari adzab kubur dan dia akan lewat di atas titian bagaikan kilat tanpa hisab dan tanpa adzab.”
Takhrij :
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al Maudhu’at
Keterangan :
Ibnul Jauzi berkata, “Hadits ini palsu, kebanyakan perowinya majhul (tidak dikenal)
Silakan baca penjelasan ulama tentang hadits ini di al-Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (II/123), Tabyinul ‘Ajab hal. 20 dan al-Fawa`id al-Majmu’ah hal. 47 hadits no. 144.


Hadits Kesembilan :
عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من صام يوما من رجب وصلى فيه أربع ركعات، يقرأ في أول ركعة مائة مرة آية الكرسي، وفى الركعة الثانية مائة مرة قل هو الله أحد، لم يمت حتى يرى مقعده من الجنة أو يرى له «
Dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab dan sholat di dalamnya empat rakaat, dia membaca pada rakaat pertama ayat kursi sebanyak 100x dan membaca surat Al Ikhlas sebanyak 100x di rakaat kedua, maka ia tidak akan mati sampai ia melihat tempat duduknya di surga atau diperlihatkan padanya.”
Takhrij :
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (2/435, no.1007)
Keterangan :
Dalam hadits ini terdapat rowi yang bernama Utsman bin’Atho, dia seorang perowi yang telah dilemahkan oleh para ulama diantaranya :
Yahya bin Ma’in berkata, Lemah dalam periwayatn hadits”
Amru bin Al Fallas berkata, “Haditsnya mungkar”,
Ibnul Jauzi mengatakan, Hadits ini palsu yang diatasnamakan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, kebanyakan perowinya majhul dan Utsman seorang yang matruk (ditinggalkan periwayatannya) oleh para ahli hadits


Hadits Kesepuluh :
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " رجب شهر الله وشعبان شهرى ورمضان شهر أمتى. ... لكن لا تغفلوا عن أول ليلة في رجب، فإنها ليلة تسميها الملائكة الرغائب، وذلك أنه إذا مضى بك الليل لا يبقى ملك مقرب في جميع السموات والارض إلا ويجتمعون في الكعبة وحواليها، فيطلع الله عز وجل عليهم إطلاعة فيقول: ملائكتي سلونى ما شئتم، فيقولون يا ربنا حاجتنا إليك أن تغفر لصوام رجب، فيقول الله عزوجل: قد فعلت ذلك. ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: وما من أحد يصوم يوم الخميس أول خميس في رجب، ثم يصلى فيما بين العشاء والعتمة، يعنى ليلة الجمعة، ثنتى عشرة ركعة، يقرأ في كل ركعة فاتحة الكتاب مرة، وإنا أنزلناه في ليلة القدر ثلاث مرات، وقل هو الله أحد اثنتى عشرة مرة، يفصل بين كل ركعتين بتسليمة، فإذا فرغ من صلاته صلى على سبعين مرة، ثم يقول: اللهم صل على محمد النبي الامي وعلى آله، ثم يسجد فيقول في سجوده: سبوح قدوس رب الملائكة والروح سبعين مرة، ثم يرفع رأسه فيقول: رب اغفر لي وارحم وتجاوز عما تعلم إنك أنت العزيز الاعظم سبعين مرة، ثم يسجد الثانية فيقول مثل ما قال في السجدة الاولى، ثم يسأل الله تعالى حاجته، فإنها تقضى.
Dari Anas bin Malik berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Rajab itu bulannya Alloh, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku… akan tetapi janganlah kalian lalai dari awal waktu di malam Jum’at pada bulan Rajab, karena itu adalah malam yang dinamakan malaikan dengan ar-Ragha`ib. Dan yang demikian ini apabila telah berlalu sepertiga malam tidaklah tersisa seorang malaikatpun di penjuru langit dan bumi melainkan mereka berkumpuk di Ka’bah dan sekitarnya. Lalu muncullah Alloh Azza wa Jalla di hadapan mereka seraya berfirman : “wahai Malaikat-Ku, mintalah kepadaku sekehendak kalian.” Mereka menjawab : “wahai Tuhan kami, keinginan kami kepada-Mu adalah Engkau mengampuni orang yang berpuasa di bilan Rajab.” Alloh Azza wa Jalla berfirman : “Aku telah melakukannya.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “dan tidaklah seorang berpuasa pada hari Kamis, awal Kamis pada bulan Rajab, kemudian ia sholat diantara waktu isya’ hingga pagi yaitu pada malam Jum’at sebanyak dua belas rakaat…dst”
Keterangan :
Hadits ini maudhu’, silakan lihat penjelasannya di al-Maudhu’at (II/126), Tabyinul ‘Ajab hal. 25 dan al-Fawa`id al-Majmu’ah oleh asy Syaukani hal. 50 hadits no. 147.


Hadits Kesebelas :
عن على بن أبى طالب رضى الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " إن شهر رجب شهر عظيم، من صام منه يوما كتب الله له صوم ألف سنة، ومن صام يومين كتب الله له صيام ألفى سنة، ومن صام ثلاثة أيام كتب الله له صيام ثلاثة ألف سنة، ومن صام من رجب سبعة أيام أغلقت عنه أبواب جهنم، ومن صام منه ثمانية أيام فتحت له أبواب الجنة الثمانية يدخل من أيها شاء، ومن صام منه خمس عشرة يوما بدلت سيئاته حسنات ونادى مناد من السماء: قد غفر الله لك فاستأنف العمل، ومن زاد زاده الله عزوجل ".
Dari Ali bin Abi Tholib radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya bulan Rajab itu adalah bulan yang agung. Barangsiapa yang berpuasa padanya sehari saja Alloh mencatat baginya puasa seribu tahun, barangsiapa yang berpuasa dua hari Allah mencatat baginya puasa dua ribu tahun....”
Keterangan :
Ibnul Jauzi berkata, “Hadits ini tidak shohih berasal dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam”
Abu Hatim Ibnu Hibban berkata tentang salah seorang perowi hadits ini, Tidak boleh berhujjah dengan Harun karena dia meriwayatkan riwayat-riwayat mungkar yang banyak hingga orang yang mendengarkannya beranggapan di dalam hatinya bahwa Harun sengaja melakukannya”
Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini tidak diragukan lagi bahwa hadits palsu dan yang tertuduh (memalsukannya) adalah Ishaq bin Ibrahim Al Khuttali

Wallohu Ta'la A'lam wahuwa Waliyyut Taufiq


Read more ...

SMS gratis!

Klik di sini!
free counters