. wisecorner

وقفة مع روضة من رياض الجنة

07 Februari 2011



حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِي عَلَى حَوْضِي

Telah menceritakan kepada kami Musaddad dari Yahya dari 'Ubaidullah bin 'Umar berkata, telah menceritakan kepada saya Khubaib bin 'Abdurrahman dari Hafsh bin 'Ashim dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Diantara rumahku dan mimbarku adalah raudhah (taman) diantara taman-taman surga dan mimbarku berada pada telagaku (di surga) ". (HR. Bukhari-Muslim dan imam lainnya)

Sementara dalam riwayat yang lain mengatakan “antara kuburanku dan mimbarku adalah taman diantara taman-taman surga”. Ulama kita menjelaskan bahwa lafadz kedua ini adalah bentuk mukjizat Rasulullah karena beliau tahu dimana tempat beliau meninggal dan dimakamkan. Adapun makna Raudhah dalam hadits di atas sebagian ulama kita memahami secara dzahirnya yang berarti taman itu yang akan diangkat ke surga pada hari kemudian sebagian yang lain berpendapat bahwa amalan yang dikerjakan di Raudhah baik berupa shalat, dzikir, bacaan Qur’an dan amalan lainnya adalah pengantar menuju surga Allah.

Hari itu rencananya mau mengikuti kelas tahfidz-nya Ablaha Husniyah, tapi setelah ditunggu-tunggu ternyata beliau tidak datang-datang. Mba Alqi pun mengajak saya ke Raudhah.


Dari referensi yang pernah saya baca, panjang Raudhah 22 meter dan lebarnya 15 meter. Ditandai dengan karpet yang berwarna hijau. Raudhah lokasinya di bagian jamaah laki-laki dan hanya dibuka (untuk jamaah perempuan dengan cara memasang pembatas di sepanjang jalan menuju Raudhah) pada waktu pagi hingga dzuhur dan setelah isya. Raudhah tak pernah sepi dari jamaah yang ingin shalat, berdzikir ataupun membaca Al-Qur’an. Bahkan hari itu kami berdesak-desakkan dengan jamaah perempuan lainnya. Cukup sulit mencari tempat untuk shalat, saya sendiri ketika shalat merasakan bagian kepala saya dilangkahi beberapa kali. Tapi, Alhamdulillah alaa kulli hal, sangat bersyukur bisa diberi kesempatan untuk shalat dan berdoa di Raudhah. Semoga Allah memperkenankan doa-doa saya. Amiin. Tidak boleh terlalu berlama-lama sebab petugas keamanan di situ akan menyuruh kita untuk beranjak agar jamaah yang lain juga bisa shalat dan berdoa di Raudhah.

Sunnah ketika kita memasuki area Raudhah adalah mengucapkan salam kepada Rasulullah, kemudian kepada Abu Bakar Ash Shiddiq, kemudian kepada Umar bin Khattab. Berharap bisa shalat dan berdoa lagi di Raudhah di lain kesempatan. Amiin

Sabtu, Rabiul Awal 1432H

note: gambarnya boleh up load di mbah google soalnya kalo foto langsung bisa kena tegur petugasnya lagian sama zauji ga dibolehin foto-foto.

Read more ...

Catatan perjalanan: Umrah pertamaku (bag.1)

05 Februari 2011

Mekkah, 24 Safar 1432H

Manasik Umrah

Alhamdulillah, akhirnya bisa umrah juga bersama zauji yang akan menjadi guide saya ketika umrah nanti. Beberapa hari sebelum umrah, saya diajari manasik umrah dulu sama zauji. Pada saat manasik, zauji menjelaskan hal-hal seputar umrah. Mulai dari hukum umrah yaitu sunnah muakkadah meskipun ulama lain mewajibkannya sebagaimana haji (baca QS. 2 : 196). Kemudian hal-hal yang dilarang selama ihram. Ada larangan yang berlaku umum ada larangan khusus buat pasangan laki-laki dan peremupuan. Larangan yang berlaku umum diantaranya tidak dibolehkan memakai wangi-wangian, tidak boleh mencabut rambut/bulu yang ada di tubuh, tidak boleh membunuh binatang buruan, tidak boleh berjima’ dan hal-hal yang mengantarkan kepada berjima’, tidak boleh menggunting kuku, tidak boleh berdebat. Larangan yang berlaku khusua bagi laki-laki diantaranya tidak boleh memakai pakaian berjahit, tidak boleh menutup kepala dengan benda apapun yang bersentuhan langsung dengan kepala. Larangan khusus untuk perempuan diantaranya tidak boleh memakai cadar dan kaos tangan. So..yang sebelumnya pake cadar tidak perlu khawatir, sebab ada jenis penutup wajah yang 2 in 1 (istilah saya ini) bisa jadi cadar dan bisa juga jadi purdah yang menutup langsung dari ubun-ubun. Setelah itu, zauji menjelaskan tatacara (rukun) umrah yaitu tawaf (sebanyak 7 kali putaran) dan sa’i (sebanyak 7 kali bolak-balik shafa-marwah) juga sunnah-sunnah selama umrah nanti. Yang terakhir yaitu tahallul yang merupakan wajib umrah. Tahallul itu mencukur botak (yang lebih dianjurkan) atau sekedar memendekkan rambut (taqshir) bagi laki-laki dan bagi perempuan memotong ujung rambut seukuran 1 ruas jari. MasyaAllah...baru manasiknya aja hati ini rasanya sudah bahagia gimana gtuuu...belum pas umrahnya nanti. Subhanallah....

Akhirnya hari yang dinanti tiba juga....

Hari itu hari sabtu, kami berangkat dari rumah sebelum ashar agar bisa shalat ashar dulu di Masjid Nabawi sebelum berangkat ke Mekkah. Setelah shalat ashar, kami berjalan kaki ke terminal bus, cukup jauh juga...but kata zauji sekalian latihan jalan biar nanti ga kagok pas umrahnya. It’s ok, zauji. Akhirnya kami tiba di terminal bus, bus yang akan kami tumpangi yaitu bus dari PT. Saptco, perusahaan bus yang bekerja sama dengan semua universitas negeri yang ada di Saudi dan memberikan diskon (50% dari harga tiket aslinya) kepada semua mahasiswa di universitas-universitas tsb. Jadi untuk pulang-pergi kemarin total biaya yang kami keluarkan sebesar 150 SAR (1 SAR = Rp 2400 – 2500). Bus yang akan kami tumpangi berangkat pukul 17.30, karna masih setengah jam, maka kami duduk-duduk di ruang tunggu sambil nonton TV yang ketika itu menyiarkan berita kerusuhan di Kairo, Mesir. Yah..semoga saja saudara/i kita disana dilindungi oleh Allah. Amiin. Bus yang akan kami tumpangi nanti ini ukurannya cukup besar, berAC, tanpa musik dan menurut zauji selama menumpangi bus ini, para supirnya tidak pernah ngebut. Supir bus kali ini adalah orang Mesir. Ada juga orang Indo, kebanyakan dari Jawa Barat. Beberapa menit sebelum jam keberangkatan, kami naik ke bus. Penumpang yang berkeluarga diberikan jatah kursi di depan sedang yang single duduknya di bagian belakang, seperti itulah kebiasaan di Saudi, memisahkan yang berkelurga dengan yang single demi sebuah privasi. Saya suka sekali. Seperti waktu kami makan malam di Resto Abu Khalid (di sekitar Nabawi), ada sekat-sekat yang dibuat khusus untuk costumer yang makan bersama keluarganya. Jadi kita bisa membuka cadar kita dan menikmati lezatnya makanan. Hehehehe. Sekiranya di Indo juga seperti itu.

Pukul 17.30, bus yang kami tumpangi berangkat menuju Mekkah. Kursi tepat di belakang saya di isi oleh sepasang anak laki-laki kembar asal Mesir (punya logat yang khas) sekitar 7 tahunan, menggemaskan. Ternyata mereka dan ibunya yang duduk di kursi seberang juga akan umrah. Bus mulai keluar dari terminal, di kejauhan nampak gugusan pegunungan Uhud yang membentang panjang. Jadi teringat kisah Perang Uhud (3 Hijriyyah). Lagi-lagi rasa haru menyeruak. Subhanallah..ternyata sekarang gunung yang sangat terkenal itu yang menjadi saksi gugurnya 70 syuhada tidak hanya ada dalam khayalan saya, tapi sudah ada di depan mata saya. Cuma perjalanan menuju Mekkah tidak melewati Uhud, jadi kali ini hanya bisa melihat lewat kaca bus yang gede itu. Mudah-mudahan lain kali bisa diajak jalan-jalan kesana sama zauji.

Kira-kira setelah 10 menit berjalan, bus yang kami tumpangi singgah di daerah yang bernama Dzulhulaifah atau yang lebih dikenal dengan Bir Ali tempat miqat-nya orang-orang yang tinggal/yang melewatinya (bukan penduduk Madinah) untuk berhaji atau berumrah. Disinilah laki-laki yang hendak haji atau umrah mengganti pakaiannya dengan kain umrah (2 buah, dililitkan di bagian pinggang dan di sampirkan di bagian dada dan bahu) dan untuk perempuan mengganti cadarnya dengan purdah juga melepas kaos tangannya. Rada canggung juga sih pake purdahnya karna ini yang pertama kali. Kebetulan juga tidak bawa kacamata, jadi penglihatannya cukup kabur. Supaya ga salah jalan, tangan saya digandeng sama zauji. Singgahnya pas maghrib, jadi setelah berganti pakaian kami shalat dan siap-siap untuk berangkat kembali. Ternyata bukan kami saja yang hendak umrah, selain 2 anak kembar bersama ibunya ada juga beberapa mahasiswa dari jamiah (yang duduk di belakang) juga seorang bapak yang juga akan berumrah hari itu. Saat bus sudah mulai bergerak zauji mengingatkan saya untuk melafazkan niat umrah yaitu “labbaika umratan” yang mana ketika niat tersebut sudah terlafazkan, maka berlakulah larangan-larangan selama ihram sampai setelah tahallul nanti.

Jarak antara Madinah-Mekkah yaitu 450 KM yang insyaAllah akan ditempuh selama 6 jam. Selama perjalanan menuju Mekkah orang-orang yang akan berhaji atau berumrah disunnahkan untuk memperbanyak talbiyah, “labbaikaallahummalabbaik labbaikalaasyarikalakalabbaik innalhamdawannikmatalakawalmulk laasyarikalak”. Kalo sudah capek boleh tidur, karna perjalananya cukup panjang. Kalo lapar dan haus boleh makan-minum. Karna kami berangkatnya sore, maka selama perjalanan kami hanya dapat menikmati gelapnya malam dengan hiasan berjuta kerlip bintang di langit.

to be continued....

Read more ...

Karena Menikah Bukan Alasan

03 Februari 2011

Wanita mana yang tidak ingin menikah? Saya rasa tidak ada. Meski wanita tersebut seorang aktivis dakwah sekalipun (aktivis dakwah juga manusia, punya rasa punya hati^_^). Karna menikah adalah salah satu kebutuhan hidup dan lebih dari itu menikah adalah langkah seseorang untuk menggenapkan setengah dien-nya. Tapi ada perbedaan visi- misi pernikahan antara seorang aktivis dakwah dengan wanita pada umumnya. Mulai dari awal (H minus jauh sekali dari hari H), masa-masa mendekati hari H (prewedding-nya) hingga pertanggungjawabannya nanti di hadapan Allah. Mulai dari syarat buat si calon imam (ga neko-neko, hanya: beriman, beragama Islam, berakal, sudah baligh tentunya, sangat di harapkan seorang aktivis dakwah yang sefikrah), prosesnya (lewat ta’aruf (biodata dan foto ter-up date) yang diprakarsai oleh murabbi/yah kedua belah pihak bukan lewat perantara si fulan atau si fulanah masalahnya ini masalah tanggung jawab kedepannya, kemudian kalo cocok dibuatlah pertemuan untuk nadzhar yang lagi-lagi harus diperantarai oleh murabbi/yah kedua belah pihak dan dibatasi oleh hijab. Pada pertemuan tsb ikhwa dan akhwat yang berhajat dibolehkan untuk melihat wujud calon pasangannya (kebanyakan akhwat-nya pada malu-malu jadinya ga sempat lihat tapi tetap berhusnudzon), selanjutnya jika keduanya merasa cocok maka akan berlanjut ke proses khitbah. Selanjutnya kita yang notabene hari ini adalah seorang aktivis dakwah akan memperjuangkan visi-misi dkknya tsb dalam sebuah proposal walimah syar’i (pake hijab, pengantin dan tamu-tamunya dipisah antara pria dan wanita, tak ada alunan musik, misal electone yang ada hanya nasyid itupun tanpa musik). Ribet? Menurut saya tidak, sebab yang akan kita jalani kedepannya bukan sesuatu yang main-main dan kebaikan yang kita harapkan selalu menyertai kehidupan setelah menikah tentunya harus diawali dengan proses yang baik pula agar awal yang baik akan berjalan dan berakhir dengan baik pula.

Lalu kenapa setelah menikah kita malah berpikir dua kali untuk tetap berada di jalan dakwah?

Untuk membagi waktu antara dakwah, berbakti kepada suami, kepada orang tua, memenuhi hak-hak anak-anak kita, saudara/i kita (meski harus mengorbankan kepentingan orang-orang yang kita cintai karena Allah dan dakwah kepadaNya yang lebih kita cintai).

Untuk tetap berpayah-payah dalam sebuah kerja dakwah meski saudari-saudari kita pun akan memaklumi kondisi kita yang telah memiliki suami sehingga ada sedikit rukhshah bagi kita.

Untuk tetap mencurahkan pikiran, waktu, harta, tenaga juga apa-apa yang kesemuanya itu adalah kepunyaanNya yang diamanahkan kepada kita. Termasuk seorang suami yang shaleh pendamping kita hari ini. Tidak takut kah kita jika Allah berkehendak mengambil nikmat tsb karna Allah menilai kita tidak mensyukuri nikmat tsb. Naudzubillahimindzalik.

Padahal sebelumnya kita punya himmah 'aliyah bahwa dengan pernikahan itu kita berharap bisa tetap istiqomah bahkan lebih sebab sudah ada partner dalam menempuh perjalanan panjang ini yang dengannya kita bisa saling mengingatkan satu sama lain.

Padahal sebelumnya ditengah-tengah perjuangan dan permohonan panjang kita padaNya agar dipertemukan dengan lelaki shaleh, kita berazam untuk tetap kukuh berdiri dan berjalan dengan semangat yang lebih sebab setelah pernikahan tersebut segalanya akan menjadi lebih baik.

Lalu kenapa kita seakan lupa dengan semua itu?

Terlenakah kita dengan bahagianya pernikahan?

Terlenakah kita dengan istilah dunia serasa milik berdua yang lain cuma ngontrak? Terlenakah kita sehingga kaki kita berat untuk beranjak dari peraduan menuju medan dakwah?

Atau kita sudah merasa tersibukkan dengan amanah baru kita sebagai seorang istri? Jika seperti itu bagaimana keadaan ummahat-ummahat yang sampai hari ini tetap eksis di dunia dakwah dengan anak yang tidak cuma 1, 2,...5, bahkan lebih dari itu. Tidak malukah kita dengan mereka? Yang bahkan seorang ummahat 4 anak pernah dikonsentrasikan atas nama dakwah oleh suaminya agar sang ummahat bisa fokus mengurusi ummat..subhanallah. Seharusnya kita malu pada mereka.

Atau kita merasa pernikahan kita adalah akhir dari perjuangan kita di jalan dakwah? Akhir karna kita sudah berhasil mendapatkan apa yang kita idam-idamkan selama ini? Kalo seperti itu, mari kita memuhasabah niat kita untuk turut dalam kafilah dakwah.

Bukankah jodoh laki-laki shaleh yang kita dapatkan hari ini adalah karunia dari Allah atas apa-apa yang pernah kita usahakan (atas izinNya) diwaktu yang telah lewat?

Bukankah kebahagiaan yang kita rasakan adalah buah dari perjuangan kita (sebab hidayah dariNya) di jalan dakwah ini? Lantas kenapa kita seperti kacang lupa kulitnya?

Pernikahan seorang aktivis dakwah adalah pernikahan yang menyatukan dua pribadi yang tak pernah saling kenal secara intens sebelumnya (kenalannya lewat perantara orang yang dipercaya dalam hal ini murabbi/yah bukan hasil usaha sendiri atau lewat jejaring sosial dan diusahakan seminimal mungkin interaksi di antara keduanya). Pernikahan yang membuat kita semakin stabil menghadapi beragam tribulasi dakwah. Pernikahan yang bagi seorang aktivis bukanlah akhir dari sebuah perjuangan tetapi awal yang baru dari sebuah perjuangan panjang yang diharapkan akan berakhir di JannahNya. InsyaAllah.

Waffaqanallahu jami’an.

Bersama zauji, ba’da subuh di penghujung Safar 1432 H

Read more ...

LARANGAN ISLAM MENCELA DENGAN ‘LAQAB’ YANG BURUK ( Tafsir QS. 49 : 11 )

20 Januari 2011
LARANGAN ISLAM MENCELA DENGAN ‘LAQAB’ YANG BURUK

( Tafsir QS. 49 : 11 )

Allah berfirman dalam QS. 49 : 11


Laqab (julukan/panggilan) artinya nama yang mengandung pujian ataupun celaan. Adapun laqab yang mengandung pujian, maka tidaklah mengapa sebagiamana ulama’ kita memberikan contoh laqab As-Shiddiq untuk Abu Bakar, Al-Faruq untuk Umar, Dzunnurain untuk Utsman dan Abu Turab untuk Ali -Radhiyallahu ‘anhum wa anishshahabati ‘ajma’in- maka tidak mengapa yang seperti ini. Adapun laqab yang dibenci oleh seseorang, maka sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir yang merupakan sebab turunnya ayat ini bahwasanya seorang di zaman jahiliyah memiliki beberapa nama dan jika dipanggil dengan nama tertentu akan muncul perasaan benci dan tidak suka. Sebagaimana ketika kaum dari Kabilah Bani Salamah datang kepada Nabi dan beliau Shalallahu’alaihi wa Sallam tahu beberapa nama tersebut dan memanggil salah seorang diantara mereka dengan laqab yang tidak disukainya, maka dengan cepat sahabat menegur Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam dan mengingatkan bahwa nama tersebut tidak disukainya, kemudian turunlah ayat ini.

Firman Allah


Artinya janganlah kalian memberikan laqab yang buruk dengannya orang tersebut merasa terganggu meskipun hal itu benar adanya dan ulama’ hadits mengecualikan hal ini dalam penamaan perawi hadits, maka kita akan mendapatkan beberapa riwayat hadits yang menyebutkan laqab seperti Al-A’raj (orang pincang), Az-Zayyat (penjual minyak) dan laqab lainnya yang keberadaannya diingkari oleh orang Arab karena maknanya yang kurang bagus tetapi karena orang tersebut tidak akan dikenal kecuali dengan nama tersebut, maka tidak mengapa dengan tidak memaksudkan penghinaan ataupun merendahkan.


Ibnu Jarir Ath-Thobari –rahimahullah-1 menyebutkan perkataan mujahid2 pada makna ayat ini bahwasanya hal ini termasuk laqab yang berhubungan dengan keislaman seseorang (hal-hal yang tidak diridhoi oleh Islam) sebagaimana jika seorang bersalah kemudian dipanggil ‘wahai fasiq’ atau ‘wahai munafik’ atau ‘wahai fajir’. Maka ulama’ kita berpendapat itulah makna ayat ini. Bahkan sebagian yang lain mengatakan hal tersebut lebih dari yang telah disebutkan sebelumnya. Berarti panggilan yang berkenaan dengan sifat tertentu yang masuk dalam ayat ini, misalnya: si fulan muta’ashshib (ta’ashshub), si fulan muqallid (taklid), si fulan mujtahid (ijtihad), si fulan sifatnya begini, si fulan pemikirannya begini. Tidak pantas bagi penuntut ilmu mengambarkan saudaranya dengan hal yang tidak diridhoi untuk dirinya sendiri, maka apakah yang terjadi jika pendapat saudaranya benar dan bersumber dari dalil yang syar’i?? Maka keadaanlah yang membuatnya berpegang teguh dengan kebenaran atau pendapat yang rajih. Akan tetapi kesalahan besar jika seorang penuntut ilmu mendapatkan masalah khilafiyah dan madzhab yang dia pegang mengambil sisi pendapat tanpa memiliki dalil apapun atau madzhab tersebut memiliki dalil dan madzhab yang lain memiliki dalil yang lebih kuat, maka tidak dibenarkan baginya bersikukuh dengan pendapat lemah dengan alasan madzhab tersebut adalah madzhab temannya, maka sangat tidaklah pantas. Akan tetapi dia tidak dicela, karena perkara tersebut adalah perkara ijtihadi dan tidak pantas untuk menjadikan perbedaan di atas menjadi arena saling mencaci, merendahkan dan memberi gelar yang tidak layak. Dan menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk menjalin hubungan baik di antara mereka karena ilmu adalah perekat hubungan dan sepantasnya pula bagi penuntut ilmu untuk menjunjung tinggi ilmu. Jika terjadi masalah khilafiyah atau ijtihadiyah, maka bukan jalan menghina atau mencela yang lainnya. Dan hal yang sungguh menakjubkan ketika Imam Syafi’i mengunjungi kota Baghdad dan shalat subuh di dalamnya tanpa qunut, dikatakan kepada beliau, ‘kenapa engkau tidak qunut sedang madzhabmu berpendapat demikian?’ beliau menjawab, ‘untuk menghormati pemilik kubur ini (Imam Abu Hanifah)’. Sungguh sebuah adab yang luhur, sepantasnya para penuntut ilmu yang baru menapakkan kakinya untuk berqudwah dengan mereka yang hidupnya penuh dengan ilmu.

Para penuntut ilmu secara khusus hendaknya memperhatikan adab ini karena persaingan antara mereka akan memunculkan perasan yang tidak pantas dan pada akhirnya akan memunculkan laqab-laqab bagi teman ‘pesaing’ dalam menempuh jalan mulia ini.



Semoga Allah menjaga kita dari sifat ujub dan merasa paling benar sendiri. Hanya Dia jualah tempat mengadu dan memohon pertolongan.

Wallahu a’lam bishshawab.


1. 1. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, imam tafsir dan sejarah penyusun buku tafsir Ath Thobari dan buku sejarah lainnya, wafat tahun 310 H.

2. Mujahid bin Jabr, pemuka ahli tafsir di zaman tabi’in dan murid terdekat Ibnu Abbas, wafat tahun 104 H.




*Dikutip dari ceramah Syaikh Athiyah bin Muhammad Salim -Rahimahullah- wafat tahun 1420 H (http://www.islamweb.net) dengan sedikit penambahan oleh zauji.
Read more ...

Mudahkan Yaa Rabb...

17 Januari 2011
Ini hari kedua ujian final semester zauji di pasca sarjana...bahannya banyak sekali...kata zauji mata kuliah ini memang banyak sekali bahannya..kalo ga salah ingat mata kuliahnya ini tentang referensi ilmu tafsir (berbagai judul dan literatur tentang tafsir beserta biografi penulis and more...).
Semoga saja zauji dimudahkan memahami dan menjawab setiap soal dalam ujiannya. Amiin.
Teriring doa untukmu, mujahidku...inni uhibbukafillah.


ﺍﻟﻟﻬﻢ ﻻ ﺴﻬﻝ ﺃﻻ ﻣﺎ ﺟﻌﻟﺗﻪ ﺳﻬﻼ

ﻭ ﺍﻧﺕ ﺗﺟﻌﻝ ﺍﻟﺣﺯﻥ ﺇﺫ ﺷﺌﺕ ﺳﻬﻼ

“Ya Allah tidak ada kemudahan kecuali apa-apa yang Engkau jadikan mudah, dan kesusahan bisa Engkau jadikan mudah jika Engkau menghendaki mudah”

"Ya Allah, there is no ease except what You make easy, and trouble could You make it easy if You want easy"

(HR. Ibnu Hibban, Ibnu Sunni)
Read more ...

Tentang Nifas....

16 Januari 2011

HUKUM DARAH YANG MENYERTAI KEGUGURAN PREMATUR SEBELUM SEMPURNANYA BENTUK JANIN DAN SETELAH SEMPURNANYA JANIN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Di antara para wanita hamil terkadang ada yang mengalami keguguran, ada yang janinnya telah sempurna bentuknya dan ada pula yang belum berbentuk, saya harap Anda dapat menerangkan tentang shalat pada kedua kondisi ini ?

Jawaban.
Jika seorang wanita melahirkan janin yang telah berbentuk manusia, yaitu ada tangannya, kakinya dan kepalanya, maka dia itu dalam keadaan nifas, berlaku baginya ketetapan-ketetapan hukum nifas, yaitu tidak berpuasa, tidak melakukan shalat dan tidak dibolehkan bagi suaminya untuk menyetubuhinya hingga ia menjadi suci atau mencapai empat puluh hari, dan jika ia telah mendapatkan kesuciannya dengan tidak mengeluarkan darah sebelum mencapai empat puluh hari maka wajib baginya untuk mandi kemudian shalat dan berpuasa jika di bulan Ramadhan dan bagi suaminya dibolehkan untuk menyetubuhinya, tidak ada batasan minimal pada masa nifas seorang wanita, jika seorang wanita telah suci dengan tidak mengeluarkan darah setelah sepuluh hari dari kelahiran atau kurang dari sepuluh hari atau lebih dari sepuluh hari, maka wajib baginya untuk mandi kemudian setelah itu ia dikenakan ketetapan hukum sebagaimana wanita suci lainnya sebagaimana disebutkan diatas, dan darah yang keluar setelah empat puluh hari ini adalah darah rusak (darah penyakit), jadi ia tetap diwajibkan untuk berpuasa, sebab darah yang dikelurkan itu termasuk ke dalam katagori darah istihadhah, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy, yang mana saat itu ia 'mustahadhah' (mengeluarkan darah istihadhah) : "Berwudhulah engkau setiap kali waktu shalat". Dan jika terhentinya darah nifas itu diteruskan oleh mengalirnya darah haidh setelah empat puluh hari, maka wanita itu dikenakan hukum haidh, yaitu tidak dibolehkan baginya berpuasa, melaksanakan shalat hingga habis masa haidh itu, dan diharamkan bagi suaminya menyetubuhinya pada masa itu.

Sedangkan jika yang dilahirkan wanita itu janin yang belum berbentuk manusia melainkan segumpal daging saja yang tidak memiliki bentuk atau hanya segumpal darah saja, maka pada saat itu wanita tersebut dikenakan hukum mustahadhah, yaitu hukum wanita yang mengeluarkan darah istihadhah, bukan hukum wanita yang sedang nifas dan juga bukan hukum wanita haidh. Untuk itu wajib baginya melaksanakan shalat serta berpuasa di bulan Ramadhan dan dibolehkan bagi suaminya untuk menyetubuhinya, dan hendaknya ia berwudhu setiap akan melaksanakan shalat serta mewaspadainya keluarnya darah dengan menggunakan kapas atau sejenisnya sebagaimana layaknya yang dilakukan wanita yang msutahadhah, dan dibolehkan baginya untuk menjama' dua shalat, yaitu Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya'. Dan disyariatkan pula baginya mandi untuk kedua gabungan shalat dan shalat Shubuh berdasarkan hadits Hammah bintu Zahsy yang menetapkan hal itu, karena wanita yang seperti ini dikenakan hukum mustahadhah menurut para ulama.

Kitab Fatawa Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/75]



HUKUM DARAH YANG MENGALIR TERUS MENERUS DALAM WAKTU LAMA SETELAH KEGUGURAN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya mempunyai seorang istri yang sedang hamil, pada bulan kedua dari masa kehamilannya ia mengalami keguguran karena banyaknya darah yang dikeluarkan, dan darah itu masih mengalir hingga saat ini, apakah diwajibkan baginya untuk melakukan shalat dan puasa ? Atau apa yang harus ia lakukan ?

Jawaban
Jika wanita hamil mengalami kegugran kandungan pada bulan kedua dari masa kehamilannya, maka sesungguhnya darah yang dikeluarkan ini adalah darah penyakit, bukan darah haid dan bukan pula dari nifas, maka dari itu diwajibkan bagi wanita untuk berpuasa dan puasanya sah, wajib baginya melaksanakan shalat dan shalatnya adalah sah, boleh bagi suaminya untuk menyetubuhinya dan tidak ada dosa baginya, karena para ulama mengatakan bahwa syarat diberlakukannya hukum nifas, yaitu jika janin yang dilahirkan sudah berbentuk manusia dengan telah terbentuknya organ-organ tubuh dan telah memiliki bentuk kepala, kaki dan tangan. Jika seorang wanita mengeluarkan janin sebelum memiliki bentuk manusia, maka darah yang dikeluarkan oleh wanita yang melahirkan janin ini bukan darah nifas.

Keterangan ini menimbulkan pertanyaan. Kapan janin itu berbentuk manusia?

Jawabnya adalah : Janin itu telah memiliki bentuk jika telah berumur delapan puluh hari atau dua bulan dua puluh hari, bukan empat bulan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud yang terkenal, ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami.

“Artinya : Sesungguhnya seseorang di antara kalian dipadukan bentuk ciptaanNya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk air mani, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari pula (maka inilah masa empat bulan) kemudian Allah mengutus malaikat kepadanya …. “, hingga akhir hadits.

Tentang segunpal daging itu diterangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitabNya, bahwa segumpal daging adalah segumpal darah yang belum sempurna bentuknya, jadi janin itu tidak mungkin memiliki bentuk sebelum berumur delan puluh hari, dan setelah delapan puluh hari bisa jadi berbentuk dan bisa jadi tidak berbentuk. Para ulama berpendapat bahwa umumnya janin itu telah berbentuk menjadi manusia jika janin bayi telah berumur sembilan puluh hari, maka janin yang ada dalam perut wanita yang baru dua bulan ini belum memiliki bentuk manusia karena baru enam puluh hari, dengan demikian darah yang keluar darinya adalah darah penyakit yang tidak menghalanginya untuk berpuasa, shalat serta ibadah-ibadah lainnya.

[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/266]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wajan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]


dikutip dari : http://www.almanhaj.or.id/content/1909/slash/0

Read more ...

SabarQ...

15 Januari 2011

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنِي عَامِرُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي أُحَرِّمُ مَا بَيْنَ لَابَتَيْ الْمَدِينَةِ أَنْ يُقْطَعَ عِضَاهُهَا أَوْ يُقْتَلَ صَيْدُهَا وَقَالَ الْمَدِينَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ لَا يَدَعُهَا أَحَدٌ رَغْبَةً عَنْهَا إِلَّا أَبْدَلَ اللَّهُ فِيهَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ وَلَا يَثْبُتُ أَحَدٌ عَلَى لَأْوَائِهَا وَجَهْدِهَا إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا أَوْ شَهِيدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ و حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ الْأَنْصَارِيُّ أَخْبَرَنِي عَامِرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثُمَّ ذَكَرَ مِثْلَ حَدِيثِ ابْنِ نُمَيْرٍ وَزَادَ فِي الْحَدِيثِ وَلَا يُرِيدُ أَحَدٌ أَهْلَ الْمَدِينَةِ بِسُوءٍ إِلَّا أَذَابَهُ اللَّهُ فِي النَّارِ ذَوْبَ الرَّصَاصِ أَوْ ذَوْبَ الْمِلْحِ فِي الْمَاءِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair -dalam riwayat lain- Dan Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepada kami Utsman bin Hakim telah menceritakan kepadaku Amir bin Sa'dari dari bapaknya ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku menjadikan kota Madinah sebagai tanah haram, yaitu antara kedua bukitnya yang berbatu-batu hitam. Jangan ditebang pepohonannya, dan jangan pula dibunuh hewan buruannya." Dan beliau juga bersabda: "Kota Madinah lebih baik bagi mereka jika sekiranya mereka mengetahuinya. Orang yang meninggalkan kota itu karena tidak senang kepadanya, maka Allah akan menggantinya dengan orang yang lebih baik daripadanya. Seorang yang betah tinggal di kota itu dalam kesusahan dan kesulitan hidup, maka aku akan memberinya syafa'atku atau menjadi saksi baginya di hari kiamat nanti." Dan Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar telah menceritakan kepada kami Marwan bin Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami Utsman bin Hakim Al Anshari telah mengabarkan kepadaku Amir bin Sa'id bin Abu Waqash dari bapaknya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda. Lalu ia pun menyebutkan hadits yang serupa dengan haditsnya Ibnu Numair. Dan ia menambahkan di dalam hadits itu; "Tidaklah salah seorang penduduk Madinah menginginkan keburukan, kecuali Allah akan menyiksanya di dalam neraka, yaitu dengan lelehan timah atau lelehan garam di dalam air."

(Shahih Muslim, Kitab Haji, Bab Keutamaan Madinah dan doa Nabi Shalallahu'alaihi wa Sallam dengan keberkahan di dalamnya, No. hadits 2426)
Read more ...

SMS gratis!

Klik di sini!
free counters