. wisecorner: Karena Menikah Bukan Alasan

Karena Menikah Bukan Alasan

Hits:

03 Februari 2011

Wanita mana yang tidak ingin menikah? Saya rasa tidak ada. Meski wanita tersebut seorang aktivis dakwah sekalipun (aktivis dakwah juga manusia, punya rasa punya hati^_^). Karna menikah adalah salah satu kebutuhan hidup dan lebih dari itu menikah adalah langkah seseorang untuk menggenapkan setengah dien-nya. Tapi ada perbedaan visi- misi pernikahan antara seorang aktivis dakwah dengan wanita pada umumnya. Mulai dari awal (H minus jauh sekali dari hari H), masa-masa mendekati hari H (prewedding-nya) hingga pertanggungjawabannya nanti di hadapan Allah. Mulai dari syarat buat si calon imam (ga neko-neko, hanya: beriman, beragama Islam, berakal, sudah baligh tentunya, sangat di harapkan seorang aktivis dakwah yang sefikrah), prosesnya (lewat ta’aruf (biodata dan foto ter-up date) yang diprakarsai oleh murabbi/yah kedua belah pihak bukan lewat perantara si fulan atau si fulanah masalahnya ini masalah tanggung jawab kedepannya, kemudian kalo cocok dibuatlah pertemuan untuk nadzhar yang lagi-lagi harus diperantarai oleh murabbi/yah kedua belah pihak dan dibatasi oleh hijab. Pada pertemuan tsb ikhwa dan akhwat yang berhajat dibolehkan untuk melihat wujud calon pasangannya (kebanyakan akhwat-nya pada malu-malu jadinya ga sempat lihat tapi tetap berhusnudzon), selanjutnya jika keduanya merasa cocok maka akan berlanjut ke proses khitbah. Selanjutnya kita yang notabene hari ini adalah seorang aktivis dakwah akan memperjuangkan visi-misi dkknya tsb dalam sebuah proposal walimah syar’i (pake hijab, pengantin dan tamu-tamunya dipisah antara pria dan wanita, tak ada alunan musik, misal electone yang ada hanya nasyid itupun tanpa musik). Ribet? Menurut saya tidak, sebab yang akan kita jalani kedepannya bukan sesuatu yang main-main dan kebaikan yang kita harapkan selalu menyertai kehidupan setelah menikah tentunya harus diawali dengan proses yang baik pula agar awal yang baik akan berjalan dan berakhir dengan baik pula.

Lalu kenapa setelah menikah kita malah berpikir dua kali untuk tetap berada di jalan dakwah?

Untuk membagi waktu antara dakwah, berbakti kepada suami, kepada orang tua, memenuhi hak-hak anak-anak kita, saudara/i kita (meski harus mengorbankan kepentingan orang-orang yang kita cintai karena Allah dan dakwah kepadaNya yang lebih kita cintai).

Untuk tetap berpayah-payah dalam sebuah kerja dakwah meski saudari-saudari kita pun akan memaklumi kondisi kita yang telah memiliki suami sehingga ada sedikit rukhshah bagi kita.

Untuk tetap mencurahkan pikiran, waktu, harta, tenaga juga apa-apa yang kesemuanya itu adalah kepunyaanNya yang diamanahkan kepada kita. Termasuk seorang suami yang shaleh pendamping kita hari ini. Tidak takut kah kita jika Allah berkehendak mengambil nikmat tsb karna Allah menilai kita tidak mensyukuri nikmat tsb. Naudzubillahimindzalik.

Padahal sebelumnya kita punya himmah 'aliyah bahwa dengan pernikahan itu kita berharap bisa tetap istiqomah bahkan lebih sebab sudah ada partner dalam menempuh perjalanan panjang ini yang dengannya kita bisa saling mengingatkan satu sama lain.

Padahal sebelumnya ditengah-tengah perjuangan dan permohonan panjang kita padaNya agar dipertemukan dengan lelaki shaleh, kita berazam untuk tetap kukuh berdiri dan berjalan dengan semangat yang lebih sebab setelah pernikahan tersebut segalanya akan menjadi lebih baik.

Lalu kenapa kita seakan lupa dengan semua itu?

Terlenakah kita dengan bahagianya pernikahan?

Terlenakah kita dengan istilah dunia serasa milik berdua yang lain cuma ngontrak? Terlenakah kita sehingga kaki kita berat untuk beranjak dari peraduan menuju medan dakwah?

Atau kita sudah merasa tersibukkan dengan amanah baru kita sebagai seorang istri? Jika seperti itu bagaimana keadaan ummahat-ummahat yang sampai hari ini tetap eksis di dunia dakwah dengan anak yang tidak cuma 1, 2,...5, bahkan lebih dari itu. Tidak malukah kita dengan mereka? Yang bahkan seorang ummahat 4 anak pernah dikonsentrasikan atas nama dakwah oleh suaminya agar sang ummahat bisa fokus mengurusi ummat..subhanallah. Seharusnya kita malu pada mereka.

Atau kita merasa pernikahan kita adalah akhir dari perjuangan kita di jalan dakwah? Akhir karna kita sudah berhasil mendapatkan apa yang kita idam-idamkan selama ini? Kalo seperti itu, mari kita memuhasabah niat kita untuk turut dalam kafilah dakwah.

Bukankah jodoh laki-laki shaleh yang kita dapatkan hari ini adalah karunia dari Allah atas apa-apa yang pernah kita usahakan (atas izinNya) diwaktu yang telah lewat?

Bukankah kebahagiaan yang kita rasakan adalah buah dari perjuangan kita (sebab hidayah dariNya) di jalan dakwah ini? Lantas kenapa kita seperti kacang lupa kulitnya?

Pernikahan seorang aktivis dakwah adalah pernikahan yang menyatukan dua pribadi yang tak pernah saling kenal secara intens sebelumnya (kenalannya lewat perantara orang yang dipercaya dalam hal ini murabbi/yah bukan hasil usaha sendiri atau lewat jejaring sosial dan diusahakan seminimal mungkin interaksi di antara keduanya). Pernikahan yang membuat kita semakin stabil menghadapi beragam tribulasi dakwah. Pernikahan yang bagi seorang aktivis bukanlah akhir dari sebuah perjuangan tetapi awal yang baru dari sebuah perjuangan panjang yang diharapkan akan berakhir di JannahNya. InsyaAllah.

Waffaqanallahu jami’an.

Bersama zauji, ba’da subuh di penghujung Safar 1432 H

0 comments:

Posting Komentar

SMS gratis!

Klik di sini!
free counters